Jumat, 13 Maret 2009

Layanan untuk Anak Inklusi Masih Terbatas

Jakarta, CyberNews. Layanan terhadap anak usia dini yang memiliki kebutuhan khusus (inklusi) masih sangat terbatas. Bahkan, di tataran pengetahun tentang konsep pendidikan anak berkelainan khusus ini juga masih minim.
Ketua Umum Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Indonesia (HIMPAUDI) Gusnawirta Fasli Jalal mengatakan baru sekitar 34 persen PAUD yang menberikan layanan bagi anak berkebutuhan khusus. Walau bukan prioritas namun harus dipacu serta ditingkatkan layanannya srhingga perkembangan semua anak di masa depan maksimal.
Ditemui usai Seminar Peningkatan Pelayanan PAUD Layanan Khusus (inklusi) di gedung Depdinas Jakarta, Jumat (13/4), dia menjelaskan kalau jumlah PAUD sendiri, khususnya yang melayani anak usia 0-4 tahun masih sangat sedikit dan baru mampu melayani 25 persen dari seluruh anak usia tersebut di Indonesia.
Artinya kehadiran PAUD layanan khusus belum menjadi prioritas di saat gerakan pengembangan PAUD juga masih belum optimal. Tatapi HIMPAUDI menurutnya tetap memberikan perhatian serius dan menjadikan bagian program di masa depan.
Saat ini HIMPAUDI sebagai organisasi yang memiliki tugas meningkatkan mutu dari tenaga pendidik dan kependidikan PAUD, bekerja sama dengan ppsikolog dan pihak terkait akan memberikan pelatihan dan pembinaan bagi pengelola maupun pendidik PAUD yang menyelenggarakan layanan bagi anak berkebutuhan khusus (inklusi).
Sebagai organisasi profesi yang menyadari begitu beragamnya latar belakang pendidikan para pendidik PAUD, HIMPAUDI bertekad meningkatkan penyelenggaraan pelatihan, seminar, workshop dll yang bertujuan meningkatkan mutu SDM di PAUD formal (TK/RA) dan nonformal (Kelompok Bermain, TPA, Pos (PAUD).
"Kita menyadari latar belakang pendidik PAUD beragam, ada dari SMEA, pertanian dan lainnya. Tapi kita sadar bangsa ini kekurangan tenaga pendidik sementara kebutuhan besar. Artinya dedikasi sudah cukup, hanya perlu ditambahkan bekal pengetahuan," ujar Gusnawirta.
Psikolog Fauziah Azwin, mengatakan pelayanan PAUD inklusi di Indonesia masih tidak optimal. Masih banyak konsep, APE maupun kurikulum yang sesungguhnya sudah dirancang oleh psikolog dan pakar pendidikan Dalam Negeri tetapi belum dimanfaatkan.
Begitu juga masalah perhatian Pemerintah dalam bentuk kebijakan dan pendanaan terhadap kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pengingkatan SDM pelayan pendidikan layanan khusus, pengadaan dan penerapan konsep, riset dan program terkait lainnya belum seperti yang diharapkan.
Ditegaskannya juga betapa penting keberadaan layanan khusus atau PAUD inklusi, karena dengan adanya perhatian dan pendidikan serius bagi anak berkebutuhan khusus sejak usia dini, maka diharpkan akan terjadi perbaikan yang lebih optimal.

GKR Hemas: Masih Banyak Warga Belum Nikmati Pendidikan

Yogyakarta, CyberNews. Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan, meski zaman sudah maju seperti sekarang ini, namun kenyataannya masih banyak masyarakat kita yang belum bisa menikmati pendidikan sebagaimana mestinya.
Mereka yang belum bisa menikmati pendidikan layak, terutama masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Padahal untuk meraih pendidikan sudah ada landasannya seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
GKR Hemas, selaku Ketua Penggerak Tim PKK Pemprov DIY mengatakan itu dihadapan peserta Sosialisasi Program Pendidikan Layanan Khusus (PPLK) di Gedung Radyasuyoso, Pemprov DIY, Selasa (29/1).
Maka dengan adanya program pemerintah, tentang pendidikan layanan khusus yang merupakan program baru, perlu segera disosialisasikan dan dimasyarakatkan secara terpadu. Berkesinambungan dan berjenjang sampai pada lapisan masyarakat terbawah, agar program dimaksud dapat dinikmati oleh warga secara merata, serta berhasil sesuai dengan yang diharapkan pemerintah.
Sebagaimana dituangkan pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat, bahwa salah satu tujuan ansional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini mengandung makna, betapa pentingnya peran pendidikan untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkwalitas di masa mendatang.
Guna mencapai tujuan tersebut, kata dia, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan, antara lain dengan diterbitkannya UU No 20 tahun 2003.
Dalam Undang-Undang itu, terutama pasal lima ayat 2 tercantum bahwa warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Kemudian ayat 3 dan 4 menyebutkan, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang, serta masyarakat adat yang terpencil, dan yang memiliki potensi kecerdasan maupun bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Oleh karena itu, Tim Penggerak PKK tepat untuk ikut berperan aktif dalam membantu mensosialisasikan program pendidikan layanan khusus ini. Karena, kata dia, mempunyai jangkauan kegiatan sampai lapisan masyarakat paling bawah, yaitu dasa wisma.
Menurut GKR Hemas, apresiasi masyarakat terhadap program yang dibuat pemerintah khususnya yang bertujuan untuk memajukan sumber daya manusia, menunjukkan perkembangan yang kian menggembirakan dari tahun ke tahun.
Hal ini dapat dilihat dari sambutan yang baik dan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah khususnya dalam upaya peningkatan mutu pelayanan pendidikan.
''Sepanjang program tersebut sesuai dengan kebutuhan dan memiliki dasar keilmuan yang jelas, masyarakat mesti banyak yang mendukung,'' kata permaisuri Sri Sultan Hamengu Buwono X.

Rendah, Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Semarang, CyberNews. Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Jateng diakui Kasubdin Pendidikan Luar Biasa (PLB) Dinas P dan K Jateng Drs Sutikno MSi masih sangat memprihatinkan.
''Kondisi ini bisa dilihat dari masih rendahnya angka partisipasi kasar (APK) siswa SLB yang hanya 4 %. Disamping itu, kurikulum ada yang masih terlalu luas sehingga belum menitikberatkan pada ketajaman materi, dan faktor yang lain,'' katanya seusai membuka ''Rapat Koordinasi Sosialisasi Program PLB dan Kurikulum Pendidikan Khusus'' di LPMP Jateng, Senin (27/3) malam.
Berdasarkan data dari Dinas P dan K Jateng, anak berkebutuhan khusus (luar biasa) yang terlayani pendidikan baru mencapai 7.899 siswa atau 4 %. Sementara sisanya sebesar 96 % merupakan anak tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, dan sejumlah kondisi fisik lain belum terlayani.
Rendahnya APK siswa SLB yang belajar pada jenjang pendidikan dasar menjadi perhatian serius Dinas P dan K Jateng. Pasalnya pemprov mentargetkan pada 2007 program penuntasan wajib belajar 9 tahun pendidikan dasar (wajar dikdas) di Jateng sudah tuntas paripurna dengan APK mencapai 95,00 %.
Dalam kegiatan yang diikuti 115 orang yang berasal dari unsur Kasi PLB kabupaten/kota se-Jateng, guru SDLB dan unsur lain di PLB itu, Sutikno membeberkan, guna mencapai target penuntasan wajar dikdas bagi anak berkebutuhan khusus dilakukan dengan meningkatkan daya tampung, pembangunan unit gedung baru (UGB), ruang kelas baru (RKB), dan melaksanakan program sekolah inklusi.
Program Inklusi
Sekolah inklusi, jelasnya, merupakan program pendidikan yang diberikan bagi anak berkebutuhan khusus, misalnya, tunanetra bisa masuk sekolah reguler seperti anak umumnya.
Pengembangan sekolah inklusi dilakukan dengan penyediaan pedoman pendidikan inklusi, diklat guru kelas dan guru pembimbing pendidikan inklusi, serta bantuan subsidi operasional pendidikan.
''Selain itu, meningkatkan mutu pendidikan dan pendidikan layanan khusus untuk semua jenis dan jenjang pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung kelangsungan penyelenggaraan pendidikan,'' imbuhnya.
Sampai sekarang, jumlah sekolah bagi anak berkebutuhan khusus di Jateng baru mencapai 127 sekolah yang terdiri atas SDLB negeri 26 buah, SLB negeri 4 sekolah, dan SLB swasta 97 sekolah. Sekolah tersebut digunakan untuk proses pembelajaran 7.899 siswa. Di samping itu, masih ada sekolah rintisan terpadu yang jumlahnya mencapai 69 sekolah untuk 975 siswa.

Pendidikan Inklusif di SD Isriati

SEMARANG - SD Isriati kini menyediakan pendidikan inklusif atau pendidikan khusus bagi anak didiknya. Pendidikan itu khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, biasa, dan di bawah rata-rata. Khusus bagi anak dengan kemampuan di atas rata-rata, SD Isriati memiliki program akselerasi yang telah diterapkan sejak lama.
Sementara untuk siswa biasa dinamakan program reguler. Adapun program bagi anak didik dengan IQ di bawah rata-rata disebut program khusus (inklusif).
Kepala SD Isriati Semarang, Sunoto mengatakan, pola pendidikan inklusif itu dilatarbelakangi karena anak mengalami kesulitan belajar (IQ di bawah rata-rata) yang belum sepenuhnya mendapat perhatian optimal.
Selama ini, lanjut dia, anak-anak tersebut kesulitan belajar di sekolah reguler lantaran tidak ada layanan khusus bagi mereka. Akibatnya, tak jarang mereka yang berpotensi besar untuk tinggal kelas yang akhirnya anak itu putus sekolah. Padahal, dengan layanan pendidikan yang tepat, diharapkan dapat dikembangkan potensi anak secara optimal.
"Soal rumor anak di bawah rata-rata selalu tinggal kelas, maka dengan program itu kami berharap mereka bisa naik kelas," paparnya.
Pendidikan inklusif yang telah diterapkan lama di SD Isriati Semarang banyak mendapatkan perhatian. Antara lain, datang dari Dinas Pendidikan, anggota DPRD, dan Bappeda dari berbagai daerah di Jateng.
Seperti tertuang dalam Keputusan Mendikbud Nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat. Pada Bab I Pasal 1 disebutkan, pendidikan terpadu adalah model penyelenggaraan program pendidikan bagi anak-anak cacat yang diselenggarakan bersama anak normal di lembaga pendidikan umum dengan kurikulum yang berlaku di lembaga pendidikan bersangkutan.

Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus Butuh Kerjasama

JAKARTA, SENIN - Anak-anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak-anak cacat, membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Seluruh lembaga, baik pemerintah maupun non pemerintah, harus ikut memperhatikan keberlangsungan hidup anak-anak tersebut. Pemerintah harus terus memberikan dorongan kepada pihak swasta ataupun perseorangan untuk ambil bagian dalam pembentukan mental anak-anak tersebut menjadi manusia.
Demikian disampaikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dalam Peresmian Renovasi Gedung Sekolah Luar Biasa Tunadaksa Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta, Senin (25/8). Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta tersebut mengundang Gubernur Fauzi Bowo untuk menandatangani prasasti peresmian bangunan baru sekolah YPAC.
Menurut Fauzi, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk membangun masa depan anak-anak berkebutuhan khusus tersebut. "Pemerintah telah banyak mengeluarkan undang-undang yang mengatur pembinaan anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, itu semua akan menjadi sia-sia jika tidak ada kontribusi dari pihak non pemerintah," ujar Fauzi Bowo.
Fauzi menyatakan, pihaknya telah menyediakan sejumlah anggaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam APBD, dana sejumlah Rp 125.000,- diperuntukkan bagi satu orang anak berkebutuhan khusus tiap bulannya. Pemerintah juga menyediakan beasiswa sebesar Rp 600.000,- per anak. "Meskipun demikian, harus diakui bahwa ini tidaklah cukup untuk menyantuni semu anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di Jakarta," tambah Fauzi.
Sementara itu, Ketua Pembina YPAC Jakarta Muki Reksoprodjo menyatakan, anak-anak berkebutuhan khusus harus bisa memperoleh masa depan yang cerah seperti anak-anak pada umumnya. Menurutnya, dibutuhkan banyak bantuan dan dukungan untuk mencapai tujuan terse but. "Kami berusaha memberi kesempatan kepada pihak lain, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk menjadi donatur sebagai upaya menolong anak-anak cacat, khususnya penderita cerebral palsy. Ini penting sebab masa depan anak-anak tersebut cenderung dilupakan dalam masyarakat," ucap Muki.
Sejauh ini, lanjut Muki, lembaga non pemerintah yang telah membantu YPAC Jakarta berasal dari perusahaan swasta dan pihak luar negeri. Menurutnya, sebagian perusahaan donatur telah menunjukkan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menyisihkan sebagian keuntungan untuk membantu anak-anak YPAC Jakarta. "Pihak internasional yang juga ikut membantu adalah kedutaan besar Jepang. Ini dibuktikan dengan bantuan sebesar 10 juta yen yang diberikan oleh Duta Besar Yutaka Limura tahun 2005," ucap Muki.
Saat ini, menurut Muki, pihak Jepang kembali membantu YPAC Jakarta dalam upaya renovasi gedung sekolah luar biasa tersebut. "Duta Besar Jepang dan masyarakat Jepang telah membantu percepatan renovasi gedung sekolah. Kami sangat menghargai usaha yang mence rminkan peningkatan sarana pendidikan warga Jakarta yang berkebutuhan khusus ini," tambah Muki.
Dalam kesempatan yang sama, Fauzi Bowo mengemukakan beberapa alternatif untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus. "Pemerintah terus mendukung dan melakukan lobby kepada lembaga non pemerintah. Untuk itu, meski jauh dari lahan usahanya, perusahaan diha rapkan menunjukkan tanggung jawab sosialnya kepada anak-anak berkebutuhan khusus," ucap Fauzi.
Alternatif bantuan lain yang dihimbau oleh Fauzi Bowo adalah pengangkatan anak berkebutuhan khusus sebagai anak asuh. Menurutnya, banyak anak berkebutuhan khusus yang berasal dari keluarga tidak mampu. Para donatur diharapkan dapat berperan menjadi orangt ua asuh. "Saya telah menjadi orang pertama yang telah menempuh langkah tersebut. Saya yakin bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang mampu untuk melakukannya," kata Fauzi.

Pendidikan Inklusif, Alternatif Pendampingan Anak

YOGYAKARTA, SABTU - Pendidikan inklusif yang memasukkan unsur keragaman, nilai, budaya, sikap, bahasa bisa menjadi alternatif bagi pendampingan anak sebagai manusia yang seutuhnya.

"Pendidikan inklusif memberikan peran kepada sekolah sebagai laboratorium kehidupan bagi anak," kata praktisi pendidikan Elga Andriana M.eD dalam seminar Kedudukan Anak dalam Masyarakat, di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, dalam pendidikan inklusif, anak tidak dihindarkan dari pendidikan di luar pendidikan akademis, tetapi didekatkan dengan keragaman dan masalah.

Cara-cara yang ditempuh melalui pembelajaran yang diberikan, lanjut dia, memungkinkan anak menggali, lingkungan fisik yang ditata memungkinkan interaksi, sedang komunikasi yang dibentuk mengarah pada dialog.

"Tetapi, pemaknaan inklusi masih kerap diartikan secara sempit, yaitu dipahami sebagai pendidikan yang mencampurkan anak berkebutuhan khusus dan anak bukan berkebutuhan khusus," katanya.

Oleh karena itu, katanya, sekolah memiliki peran untuk menyadarkan masyarakat sehingga anak mampu memaknai segi kehidupan yang penuh masalah dan perbedaan.

"Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru dan orang tua diharapkan menjadi warga yang reflektif," ungkapnya karena anak memiliki sifat mudah dimasuki materi-materi baik yang bersifat obyektif atau subyektif.

Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)Magdalena Sitorus, menyatakan bahwa hak-hak anak harus mendapat jaminan pemenuhan, yang meliputi hak sipil, hak pendidikan, hak kesehatan, keluarga dan pengasuhan serta perlindungan khusus.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Ribuan Siswa Berkebutuhan Khusus Belum Terlayani

BANDUNG, KAMIS — Lebih dari 36.000 siswa berkebutuhan khusus di Jawa Barat belum mendapat pelayanan pendidikan. Terbatasnya sekolah luar biasa di daerah menjadi salah satu kendala utama. Setidaknya ada 7 kabupaten/kota di Jabar yang hingga saat ini belum memiliki SLB.
Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan hal itu di sela-sela acara peresmian SLB Negeri B Cicendo Kota Bandung, Kamis (26/2). SLB saat ini rata-rata baru satu buah di kabupaten/kota. Akibatnya, banyak yang belum terlayani, bahkan jauh dari perhatian. "Padahal, mereka sama-sama anak bangsa dan jadi bagian tidak terpisahkan dalam pendidikan," ucapnya.
Untuk itu ia berharap, setidaknya pada 2010 mendatang, seluruh kabupaten/kota di Jabar sudah memiliki SLB. Menurutnya, saat ini setidaknya ada tujuh kabupaten/kota di Jabar yang belum mempunyai SLB. Di dalam sambutannya, ia menegaskan, Pemprov Jabar akan mendukung sepenuhnya pengadaan sekolah-sekolah luar biasa di daerah yang belum terjangkau SLB.
Dukungan ini mencakup pembebasan lahan tanah, anggaran dana operasional, hingga tenaga pengajar. "Jika perlu dialih kelola seperti ini (SLBN B Cicendo) ya jangan ragu dilakukan," ucapnya. SLBN B Cicendo adalah SLB khusus tunarungu yang saat ini telah dialih kelola oleh Pemprov Jabar. Dahulu, sekolah ini dikelola oleh swasta dengan nama SLB B Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengajaran Anak Tunarungu (P3ATR) Cicendo.
Dengan alih kelola ini, diharapkan SLB dapat lebih maksimal melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Sebab, manajemen dan anggarannya itu dilakukan langsung oleh pemerintah. "Di sini, sekolah bukan sekadar mendapat dana BOS, tetapi juga bagaimana agar guru-guru lebih profesional dan sarananya lebih bisa ditingkatkan," ucapnya. Total SLB di Jabar saat ini berjumlah 286, di mana 26 di antaranya (10 persen) adalah berstatus negeri.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Wachyudin Zarkasyi optimistis, pada 2010 mendatang, setidaknya setiap kabupaten/kota sudah memiliki SLB. Apalagi, mengingat pengelolaan pendidikan luar biasa saat ini berada dalam tanggung jawab pemerintah provinsi. Saat ini, Disdik Jabar setidaknya tengah membangun tiga unit SLB baru di tiga daerah yang belum memiliki SLB yaitu Kota Cimahi, Kota Banjar, dan Kabupaten Cianjur.
Guru terbatas
Ia mengatakan, dari 48.612 penyandang cacat usia sekolah yang ada di Jabar saat ini, baru 12.423 (25,5 persen) di antaranya yang terlayani pendidikan. Selain sarana dan prasarana, terbatasnya guru yang profesional menjadi kendala pelayanan pendidikan luar biasa. Dari 2.678 guru PLB, baru 889 di antaranya yang berkualifikasi sarjana. Sisanya itu adalah bergelar diploma dan SMA sederajat.
Padahal, seperti yang diungkapkan Pejabat Sementara SLBN B Cicendo Priyono, pada prinsipnya, pelayanan di SLB dengan sekolah umum sangat berbeda. Rasio pengajar dan siswa di SLB umumnya lebih kecil daripada sekolah umum. Jadi, kalau di sekolah umum satu kelas bisa 30-40 orang, di SLB itu hanya 5 orang, ucapnya. Konsekuensinya, ini membutuhkan lebih banyak guru.

Sekolah-ku, Khusus Anak Penderita Kanker

JAKARTA, SABTU - Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tak terkecuali untuk mereka yang mesti meninggalkan bangku sekolah karena harus berobat di rumah sakit. Karena itu demi melengkapi Rumah Kita, persinggahan anak penderita kanker yang sedang berobat, Sekolah-ku, sekolah khusus yang diselenggarakan di rumah sakit bagi anak-anak penderita kanker yang tengah berobat juga didirikan.

"Yayasan Kanker Anak Indonesia ( YKAKI), bekerja sama dengan para dokter dan perawat dari RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais membuat sekolah, agar anak-anak yang sedang menjalani pengobatan tetap mempunyai kegiatan dan tidak tertinggal dalam pelajaran", jelas Aniza M. Santosa, bendahara YKAKI, di Jakarta Sabtu (20/2).

YKAI bekerja sama dengan Home Schooling Kak Seto sebagai konsultan serta berbagai pihak antara lain PT Gramedia serta para donatur lainnya telah berhasil memfasilitasi tiga rumah sakit di Jakarta antara lain RSUP Cipto Mangunkusumo, RS Kanker Dharmais dan RS Fatmawati. Tenaga-tenaga pengajar profesional telah direkrut secara tetap guna memfasilitasi program pendidikan di rumah sakit ini secara konsisten dan teratur.

"Sekolah-ku ini adalah wujud dari impian saya, bahwa walaupun anak sedang dalam pengobatan di rumah sakit, tetapi mereka tetap berhak untuk bermain dan belajar," kata Ira Soelistyo, salah satu pendiri sekaligus Sekretaris YKAKI, yang memiliki pengalaman putranya saat perawatan di luar negeri tetap bersekolah semasa tinggal di rumah sakit.

"Tenaga pengajar di sekolahku terdiri dari tujuh orang tutor, tiga orang tutor adalah sarjana psikologi dan empat orang adalah sarjana pendidikan," tutur Aniza.

Dido, seoorang tutor di sekolah-ku menjelaskan anak-anak penderita kanker sedikit berbeda dengan anak-anak pada umum. Terkadang mereka sangat lemah ketika habis melakukan pengobatan. "Mood mereka juga kurang stabil karena pengaruh obat," jelas Dido.

Dalam pengajaran, para tutor harus melakukan pendekatan ekstra, agar anak-anak tersebut bersedia belajar. Ketika anak menolak untuk belajar, para tutor akan menanyakan apa keinginan mereka.

Jika sudah mogok belajar, biasanya anak-anak akan diminta untuk mewarnai atau bermain balok. Namun tak jarang para tutor membiarkan dulu sampai anak itu lebih tenang. "Kita diamkan dulu, sambil bilang kalau sudah tenang, kakak ada di ruang sebelah ya...," ucap Dido.

Anak-anak tidak dipaksakan ingin belajar apa, mereka bebas memilih pelajaran dan tutor yang mereka sukai. Karena itu, seorang tutor menangani minimal dua orang anak."Yang satu kita kasih mewarnai dulu, lalu pindah ke pasien lain, terus dicek lagi yang sebelumnya, jadi ya bolak-balik aja," ungkap Dido.

Pengajaran juga bisa berlangsung di bangsal-bangsal rawat inap. Pelajaran yang di Sekolah-ku, layaknya sekolah pada umumnya. Ada pelajaran bahasa, matematika dan sosial. Tutorlah yang memberikan bahan-bahan pelajaran mereka.

Jika tidak sedang mengalami perawatan, sebagian anak bersekolah di sekolah umum. Namun menurut Aniza, karena ketebatasan ekonomi, banyak juga anak-anak yang putus sekolah. "Rata-rata yang ikut dalam sekolah-ku adalah anak dari keluarga yang kurang mampu, banyak juga yang putus sekolah. Kalau di sekolah-ku sama sekali tidak dipungut biaya," jelas Aniza.

Saat ini sekolah-ku mempunyai murid sekitar 60 siswa, mulai dari kelas dua SD, sampai kelas enam. Dalam jangka panjang, Sekolah-ku bertujuan untuk memfasilitas anak-anak agar dapat mengikuti ujian akhir ataupun ujian sekolahnya meski masih dalam perawatan di rumah sakit dengan izin dari sekolah serta Departemen Pendidikan Nasional atau badan terkait."Pihak kami juga sedang mengupayakan anak-anak Sekolah-ku agar dapat mengikuti Ujian Akhir Nasional," ujar Aniza.

Sekolah kita terdapat di RSCM, RS. Fatmawati dan RS. Kanker Darmais. Jadwal di RSCM, setiap hari Senin dan Kamis, pukul 15.30, RS. Kanker Darmais hari Rabu dan Jumaat pukul 08.30 - 12.00. Di RS. Fatmawati hari Selasa dan Jumat pukul 15.00- 17.30.

Sejuta Anak Cerdas Belum dapat Pendidikan Layak

JAKARTA, KAMIS - Sekitar satu juta anak usia sekolah yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa dengan IQ di atas 125 belum terlayani pendidikan yang sesuai kebutuhan mereka. Padahal, anak-anak unggul ini berhak untuk mendapatkan pendidikan yang mampu mengembangkan potensi dan keistimewaan mereka.
Amril Muhammad, Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara, Pengembang, dan Pendukung Pendidikan Khusus untuk Siswa Cerdas/Berbakat Istimewa (Asosiasi CB/BI), di Jakarta, Rabu (28/1), mengatakan, dari penelitian yang dilakukan, terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah yang memiliki kualifikasi cerdas istimewa.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, ada 52,9 juta anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1,05 juta anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.
Akan tetapi, jumlah siswa cerdas/berbakat istimewa yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 4.510 orang. Artinya, baru sekitar 0,43 persen siswa cerdas/berbakat istimewa yang terlayani.
Namun, layanan pendidikan yang didapatkan anak-anak cerdas istimewa ini belum mampu memunculkan keunggulan mereka.
"Kompetensi anak-anak ini tidak menonjol, baru sekadar mengembangkan kepintaran. Karena itu, harus ada perbaikan dalam layanan pendidikan pada anak-anak ini," kata Amril.
Belum optimalkan potensi
Kebijakan pemerintah mengakomodasi anak-anak cerdas istimewa di kelas-kelas akselerasi, menurut Amril, bukanlah satu- satunya metode yang tepat. Sebab, kebutuhan yang dipenuhi baru pada cepatnya selesai masa studi, belum pada pengembangan potensi serta keunggulan kompetensi anak-anak tersebut.
Amril menambahkan, banyak anak cerdas istimewa di daerah justru merasa enggan memilih kelas akselerasi. Ada ketakutan jika mengikuti metode yang ditawarkan pemerintah saat ini, mereka akan tertekan dan kehilangan masa remaja mereka.
Eko Djatmiko Sukarso, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Depdiknas, mengakui jika penanganan terhadap anak-anak cerdas/berbakat istimewa yang sebenarnya diamanatkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak belum optimal. Citra kelas akselerasi yang selama ini diandalkan untuk melayani anak-anak ini justru belum dirasakan manfaatnya karena keistimewaan mereka tidak terlihat.
Menurut Eko Djatmiko, pembenahan sudah mulai dilakukan dalam layanan pendidikan di kelas-kelas akselerasi. Anak-anak cerdas istimewa dengan IQ di atas 125 itu belajar bersama untuk bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Di luar mata pelajaran tersebut, anak-anak cerdas istimewa bergabung dengan siswa reguler lainnya.(ELN)

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

KUPANG,SABTU-Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya.
Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri.
Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Mewaspadai Perangkap BOS

DUNIA pendidikan Indonesia mencatat sejarah baru tentang besarnya alokasi dana yang diterima dari kompensasi bahan bakar minyak (BBM). Secara nominal, alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 235 ribu per siswa SD/MI dan Rp 324,5 ribu per siswa SMP/MTs per tahun itu terhitung besar.
Sepanjang sejarah Republik, inilah dana operasional terbesar yang pernah diterima oleh sekolah. Namun, di tengah mahalnya biaya pendidikan, masih harus diuji apakah BOS mampu menjadi oase atau hanya fatamorgana biaya pendidikan.
Di atas kertas, Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Mi-nyak (PKPS BBM) Bidang Pendidikan ini memang dirancang untuk memenuhi kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan dasar (Pasal 31 [4] UUD 1945). Ironisnya, alih-alih memenuhi amanat konstitusi, sejak awal implementasi BOS justru cenderung dijadikan alat pengalihan tanggung jawab dan pengingkaran kewajiban pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah.
Dalam berbagai kesempatan para birokrat pendidikan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa BOS dapat menutupi seluruh biaya operasional sekolah. Argumennya, sebagaimana diungkapkan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, Fasli Jalal, 90% SD/MI dan SMP/MTs memungut iuran di bawah nilai BOS. Sisanya, tujuh persen memungut iuran sama de-ngan atau sedikit lebih tinggi dari nilai BOS dan tiga persen lainnya bisa dikategorikan sebagai sekolah elite.
Perangkap Finansial
Jika dicermati, sedikitnya terdapat tiga perangkap finansial yang terdapat dalam skema penyaluran BOS. Ketiga perangkap ini menyimpan potensi distorsi atas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan dasar gratis dan bermutu. Jika sekolah tidak hati-hati, kondisi ini justru akan bermuara pada pengalihan (sebagian) tanggung jawab pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah kepada masyarakat.
Lebih dari itu, pemerintah akan mendapatkan alasan untuk mem-fait accompli pengesahan regulasi terkait pembiayaan pendidikan. Ketiga perangkap itu adalah perhitungan biaya satuan pendidikan (unit cost), diskriminasi (terselubung) terhadap sekolah swasta, dan segregasi sosial di sekolah.
Pertama, perhitungan biaya satuan pendidikan. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004), biaya satuan pendidikan (unit cost) yang dijadikan rujukan dalam penetapan alokasi dana BOS belum memasukkan biaya personel atau gaji guru.
Di satu sisi, tidak dimasukkannya gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan ini sesuai dengan ketentuan pengalokasian dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 (1) UU Sisdiknas. Namun pada saat yang sama, perhitungan ini juga telah mengaburkan kebutuhan anggaran yang harus ditanggung pemerintah untuk mewujudkan pendidikan dasar yang gratis sekaligus bermutu se-bagaimana dijamin Pasal 5, 11, dan 41 UU Sisdiknas.
Jika dibandingkan perhitungan biaya pendidikan yang dirilis oleh Biro Pusat Statistik (BPS), Bappenas dan United Nations Development Program (UNDP) dalam Indonesia Human Development Report (IHDR) 2004, perbedaannya sangat mencolok. Dalam IHDR, biaya pendidikan yang dihitung memang tidak hanya biaya operasional saja. Biaya pendidikan juga mencakup biaya investasi dan peningkatan kualitas, termasuk gaji guru yang layak.
Dengan memasukkan komponen tersebut biaya pendidikan dasar per murid per distrik pada tahun 2003/2004 saja telah mencapai Rp966 ribu untuk SD, sedangkan untuk SMP sebesar Rp1.449.000. Anggaran itu masih harus ditambah Rp 208.660 untuk SD dan Rp 833.630 untuk SMP (hlm 47-48).
Diyakini, hanya dengan cara itu peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia akan meningkat. Seperti diketahui IPM Indonesia terus terpuruk, harus puas menduduki peringkat 110 berdasarkan laporan IPM 2005.
Kalkulasi ini menunjukkan bahwa BOS tidak akan dapat memacu peningkatan mutu pendidikan dasar kita. Paling jauh, BOS hanya akan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan dasar di tengah tekanan ekonomi yang kian mengimpit. Padahal tanpa komitmen yang kuat untuk meningkatkan anggaran pendidikan, BOS justru akan membonsai kehidupan sekolah. Dan, peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia tidak akan beranjak dari keterpurukan.
Kedua, diskriminasi (terselubung) terhadap sekolah swasta. Data Balitbang Depdiknas di atas menunjukkan, kecuali untuk SD, unit cost sekolah swasta ternyata lebih tinggi daripada alokasi dana BOS. Artinya, diakui atau tidak, ada diskriminasi (terselubung) dalam mekanisme penetapan dana BOS. Pasalnya, selain menerima BOS, guru sekolah negeri yang mayoritas berstatus pegawai negeri sipil (PNS) digaji oleh pemerintah. Selain itu, sekolah negeri juga masih mendapat biaya operasi dan pemeliharaan (BOP) dari alokasi APBD.
Nuansa diskriminatif semakin kentara ketika sekolah swasta tidak boleh lagi menarik iuran untuk membiayai komponen honor guru. Faktanya adalah penghasilan mayoritas guru di sekolah dengan nilai iuran di bawah BOS masih berada di bawah upah minimum kabupaten/kota, alias tidak layak, sehingga jika tanpa ada insentif lain (semisal dana kesejahteraan guru dari alokasi APBD) guru sekolah swasta tidak akan terangkat kesejahteraannya. Sementara pada saat yang bersamaan mereka harus menanggung kenaikan harga bahan kebutuhan pokok seiring dikuranginya subsidi BBM.
Ketiga, sekolah menjadi alat segregasi sosial. Walaupun jumlahnya tidak lebih dari 10%, penolakan BOS oleh beberapa sekolah elite telah menjadi justifikasi politik bagi upaya segregasi sosial melalui sekolah. Hal ini terkait dengan Rencana Strategis Depdiknas 2004-2009 yang berusaha memisahkan pendidikan formal menjadi dua jalur: formal mandiri dan formal standar sebagaimana dilansir media beberapa waktu lalu.
Kendati rencana itu sempat dibantah pejabat Depdiknas, upaya memisahkan sekolah mandiri dan standar (baca: kaya dan miskin) secara dikotomis terus berlangsung. Setidaknya dikotomi tersebut dapat ditemukan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Rancangan PP tentang Pengelolaan dan Pendanaan Pendidikan.
Berimbas ke Pesantren
Lalu bagaimana dengan pesantren? Ternyata lain di sekolah formal, lain pula yang terjadi di pesantren. Jika perangkap finansial diarahkan untuk mengaburkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan dasar oleh pemerintah, akomodasi pesantren dalam alokasi dana BOS justru menyimpan perangkap politik.
Sejak jauh hari, pemerintah telah menyiapkan instrumen kebijakan koersif untuk mengukuhkan hegemoni negara atas pesantren melalui (Rancangan) PP Pendidikan Keagamaan. BOS untuk pesantren hanyalah umpan dan 'pelumas' guna melancarkan skenario tersebut.
Harapannya, dengan penyaluran BOS akan memicu ketergantungan finansial pesantren kepada pemerintah. Ketika kondisi itu tercipta, maka pesantren akan kehilangan identitas dan karakter aslinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan dan sosial kemasyarakatan yang memiliki watak kemandirian, jiwa perjuangan dan keikhlasan yang kuat (Sahal Mahfudh, 1994).
Melalui RPP Pendidikan Keagamaan, pesantren dan pendidikan diniyah diatur sedemikian rupa hingga menghilangkan karakter aslinya. Bahkan terkesan over-regulated. Contohnya adalah kurikulum pendidikan diniyah harus memuat mata pelajaran bahasa Indonesia, IPA, matematika dan pendidikan kewarganegaraan. Diniyah juga harus mengikuti ujian nasional sesuai standar nasional pendidikan keagamaan (Pasal 30).
Jika ini terjadi, upaya untuk mengintervensi dan mengukuhkan hegemoni negara atas pesantren akan memasuki babak baru. Sebelumnya, pada era 1970 sampai 1980-an, santri pondok pesantren telah memiliki ketergantungan pada ijazah melalui program Madrasah Wajib Belajar (MWB).
Apa pun alasannya, homogenisasi pesantren secara hegemonik justru akan merugikan bangsa ini. Jika dibarengi dengan ketergantungan finansial, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah juga akan sangat besar. Pada tahun 2003/2004 saja tercatat sedikitnya 14.656 pondok pesantren dan sekitar 3,37 juta santri di seluruh Indonesia.
Jika pemerintah hendak menunjukkan kepedulian pada pesantren, hendaknya dicari cara lain yang lebih efektif dan efisien. Program peningkatan kecakapan hidup dalam skala yang lebih masif mungkin akan lebih bermanfaat bagi para santri ketimbang bantuan operasional yang rawan manipulasi. Sebab, itu akan meningkatkan daya saing mereka setelah keluar dari pesantren.
Akhirnya, kalangan pesantren harus selalu berhitung cermat. Bukan tidak mungkin, rencana intervensi kurikulum dan proyek homogenisasi-hegemonik ini terkait dengan komitmen bantuan yang pernah dijanjikan Presiden Bush dua tahun lalu.

Pemerintah Akan Buka Madrasah Aliyah Kejuruan

SEMARANG - Pemerintah berencana membuka Madrasah Aliah Kejuruan (MAK), yang setara dengan SMK. Anggota Komisi X DPR-RI, Daromi Irdjas, mengungkapkan hal itu dalam pertemuan dengan pimpinan cabang dan pimpinan wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU se-Jateng di Aula PWNU Jl Dr Cipto 180, baru-baru ini.
Menurut dia, sekolah formal keagamaan, yang selama ini ada, yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA) masih bisa dikembangkan dengan membentuk MAK, sehingga lulusan sekolah keagamaan cepat terserap di dunia usaha dan dunia industri.
''Dalam pola pengembangan pendidikan makro, sekolah kejuruan lebih cepat berkembang, sehingga sangat mungkin dibentuk MAK di sekolah-sekolah keagamaan,'' ujar dia, di hadapan pengelola lembaga pendidikan Maarif NU se-Jateng.
Keunggulan sekolah keagamaan kejuruan, lanjutnya, selain mampu menyiapkan peserta didik memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan yang dibutuhkan dalam dunia usaha atau dunia industri, mereka juga memiliki pemahaman, kemampuan, dan pengetahuan keagamaan yang lebih baik.
Guna merealisasikan rencana tersebut, ungkap Daromi, saat ini pemerintah sedang menggodok berbagai persyaratan dan menyiapkan sejumlah perangkat teknis, termasuk peraturan perundangan, kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, dan sarana-prasarana penunjang yang lain.
Pihaknya berharap, informasi itu bisa disikapi pengelola pendidikan keagamaan dan mendukung upaya pengembangan sekolah keagamaan agar lebih baik.
Siap Kerja
Dihubungi terpisah, Kasubag Hukum, Humas, dan Ortala Dinas P dan K Jateng, Henky Sulomo, menyambut positif rencana pemerintah membuka sekolah kejuruan di lembaga pendidikan keagamaan.
Kalau rencana tersebut bisa diwujudkan, dia optimistis, pendidikan madrasah tidak lagi dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Sebab, lembaga pendidikan keagamaan kejuruan bukan hanya sekolah yang membentuk manusia yang memiliki pengetahuan keagamaan yang unggul, namun juga cakap dalam menyiapkan peserta didik memasuki kehidupan di masyarakat ketika lulus.
''Kami sebagai instansi pemerintah di daerah sangat mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan,'' tegasnya.
Seperti diketahui, saat ini, SMK merupakan sekolah menengah yang dibentuk pemerintah untuk menyiapkan tenaga kerja muda yang terampil, cakap, dan mampu menjawab kebutuhan dunia industri.
Di Jateng, terdapat sejumlah SMK favorit, karena mampu menyiapkan peserta didik siap kerja. Dengan MAK, Henky berharap, akan mengurangi angka pengangguran penduduk usia produktif.

Keberadaan Madrasah Pasca-Otda

SEPANJANG 2002, wacana otonomi mendominasi isu-isu strategis seputar pendidikan, terutama untuk jenjang SD hingga SLTA. Semangat tersebut berangkat dari semangat desentralisasi yang kemudian membuahkan harapan akan terwujudnya otonomi pendidikan, manajemen berbasis sekolah (MBS) dan kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Masih menyangkut persoalan penerapan otonomi pendidikan yaitu keberadaan madrasah yang secara struktural berada di bawah Depag. Jika sekolah umum di lingkungan Depdiknas sudah diotonomikan kepada pemerintah daerah, bagaimana dengan madrasah? Apakah ia juga akan diotonomikan. Seandainya ya, lalu bagaimana dengan skema lembaga-lembaga pendidikan Islam ini.
Dengan demikian kemungkinan menjadikan pendidikan di bawah satu atap akankah terwujud? Dan apa implikasinya bagi pendidikan Islam secara keseluruhan.
Prinsip otonomi pendidikan itu kembali ditegaskan GBHN 1999-2004 tentang pendidikan yang mencakup enam hal: (1) perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) peningkatan kemampuan akademik, profesional dan kesejahteraan tenaga kependidikan, (3) pembahasan sistem pendidikan (sekolah dan luar sekolah) sebagai pusat nilai sikap, kemampuan dan partisipasi masyarakat, (4) pembahasan dan pemantapan pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi dan manajemen, (5) peningkatan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah dan masyarakat, dan (6) mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh.
Pendidikan Islam
Peranan pemerintah terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan hingga sekarang dapat dikatakan sungguh sangat minimal. Data yang ada pada Depag (2000) menunjukkan MI swasta mencapai 95,2 persen, MIN hanya 4,8 persen. Keadaan ini terbalik dengan SDN yang berjumlah 93,1 persen, berbanding SD swasta yang hanya 6,9 persen. Pada tingkat MTs, terdapat 75,5 persen MTs swasta berbanding 24,3 persen MTsN. Sedangkan SLTPN berjumlah 44,9 persen berbanding 55,9 persen SLTP swasta. Pada tingkat selanjutnya, terdapat 70 persen MA swasta berbanding 30 persen MAN. Sedangkan SMUN berjumlah 30,5 persen dibanding SMU swasta sebanyak 69,4 persen.
Kontras dengan inisiatif dan kontribusi kaum muslimin dalam menyelenggarakan community-based education adalah kebijakan yang tidak adil dan diskriminatif dalam penganggaran dan pendanaan pemerintah terhadap subsidi per kapita terhadap anak-anak bangsa yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Islam. Indeks biaya per kapita pendidikan per siswa di madrasah jauh lebih kecil dibandingkan di sekolah umum. Pada tahun anggaran 1999/2002 biaya pendidikan per siswa MIN adalah Rp 19.000 sedangkan per siswa SDN adalah Rp 100.000 (1:5,2), MTsN per siswa Rp 33.000 sedangkan per siswa SLTPN adalah Rp 46.000 (1:1,4). Kepincangan pendanaan subsidi ini lebih mencolok lagi jika mencakup madrasah/sekolah swasta yang selama ini memang cenderung diabaikan pemerintah.
Sementara para penyelenggara pendidikan swasta Islam sebagian besar menghadapi kesulitan dan keterbatasan. Maka kepincangan anggaran bantuan atau subsidi di pemerintah tidak bisa lain mengakibatkan mutu pendidikan menjadi sangat rendah. Kebanyakan madrasah swasta tidak hanya kesulitan dalam prasarana dan sarana, tetapi juga tidak mampu memberikan imbalan yang memadai bagi tenaga pendidikan.
Akibatnya, hanya mampu memiliki jumlah guru dan tenaga kependidikan secara sangat terbatas, itu pun dengan imbalan sekadarnya. Dari sinilah munculnya kecenderungan bagi banyaknya guru dan tenaga kependidikan yang salah kamar (mismatch), kualitas keilmuan yang tidak memadai. Hanya sekitar 20 persen dari total guru madrasah yang "layak" (berkualitas), 20 persen mismatch, dan 60 persen belum atau tidak layak.
Dalam kondisi yang memrihatinkan seperti itu, bisa dipahami kalau gagasan dan rencana otonomi dan penempatan pendidikan diletakkan dalam satu atap, dinas (pemerintah kabupaten/kota) bisa menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut. Kedua gagasan dan rencana itu hanya mengandung komplikasi kelembagaan dan struktur, tetapi pada gilirannya juga dapat mempengaruhi masa depan dan eksistensi pendidikan Islam. Karena sebagaimana diakui staf ahli Mendiknas Ace Suryadi PhD bahwa para guru di beberapa daerah ingin arus balik, diurusi kembali oleh pemerintah pusat (Depdiknas) lantaran pemerintah daerah kabupaten/kota tidak mengarahkannya menjadi lebih profesional.
Alternatif Lain
Mengantisipasi rencana perubahan-perubahan yang kelihatannya sulit dielakkan itu, di lingkungan Depag telah berkembang beberapa pemikiran yang dapat dipilih bagi pendidikan agama dan keagamaan.
Pemikiran pertama, eksistensi suprastuktur Ditjen Bagais Depag tetap dipertahankan, sedangkan penyelenggaraan pendidikan dilimpahkan kepada pemda kabupaten/kota. Dasar pertimbangan pemikiran pertama ini adalah bahwa Depag tetap memegang kewenangan dalam mengelola pendidikan agama dan pendidikan keagamaan sesuai dengan aspirasi masyarakat muslimin.
Selain ini, pembinaan pendidikan agama dan keagamaan secara operasional akan sama dengan pembinaan pendidikan di sekolah umum, yang akan ditangani pemda sesuai dengan UU No 22 tahun 1999.
Dalam pemikiran pertama ini, Ditjen Bagais memiliki kewenangan menetapkan kebijakan nasional, pembinaan, standarisasi mutu (kompetensi dasar), monitoring dan evaluasi. Sedangkan daerah bertanggung jawab dalam penyediaan sarana, prasarana, pembinaan dan peningkatan kemampuan tenaga kependidikan.
Pemikiran pertama ini jelas memiliki kekuatan yang berkaitan dengan pemeliharaan wewenang dan bahkan eksistensi Depag itu sendiri sejak dari tingkat pusat sampai daerah. Dari sudut daerah, pemda memiliki ruang otonomi untuk mendistribusikan sumber dana dan daya secara efektif dan efisien ke seluruh jenis dan jenjang pendidikan di wilayah setempat. Selain itu, pemda dapat menghilangkan diskriminasi terhadap madrasah dan, sebaliknya memperlakukannya sama dengan sekolah umum.
Pemikiran kedua, institusi Ditjen Bagais Depag diintegrasikan ke dalam Depdiknas, dan penyelenggaraan pendidikan agama dan keagamaan diserahkan kepada pemda sesuai UU No 22/1999. Dasar pertimbangan pemikiran kedua ini baha dengan satu atap di bawah Depdiknas (pemda kabupaten/kota), maka penyelenggaraan (termasuk pendanaan) dan kualitas pendidikan agama dan keagamaan akan sama dan sejajar dengan sekolah umum.
Kekuatan pemikiran kedua ini adalah dengan satu atap, maka pendidikan agama dan keagamaan menjadi lebih terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional, tidak ada lagi dikotomi kelembagaan dan substansial antara pendidikan agama dan keagamaan dengan pendidikan umum. Juga, diskriminasi yang selama ini ada terhadap pendidikan agama dan keagamaan agaknya dapat diminimalisasi, jika tidak bisa dihilangkan sama sekali.
Kelemahan pemikiran kedua ini tidak adanya atau kurang adanya jaminan tentang kelangsungan eksistensi pendidikan agama dan keagamaan Islam. Disamping munculnya kecenderungan umum sebagaimana dikemukakan Prof Dr Sadu Wasistiono, Ketua Komisi Otonomi Daerah pada Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia bahwa pemerintah kabupaten/kota mengintervensi pengangkatan kepala sekolah. Kenyataan demikian sungguh bertolak belakang dengan MBS.
Padahal konsep MBS pada awalnya dibuat untuk menyelaraskan otonomi daerah dengan otonomi bidang pendidikan. Dalam hal ini, para guru dan perwakilan masyarakat di setiap sekolah secara otomatis berhak memilih dan mengangkat serta memberhentikan kepala sekolah berdasarkan kerjanya. Konsep MBS memang ideal, tetapi praktiknya terkacaukan oleh paradigma sempit para birokrasi soal otonomi daerah. Karena itu pelaksanaan otonomi madrasah di lingkungan Depag tidak perlu tergesa-gesa. Beberapa perangkat sekolah yang sudah diotonomikan saja ingin arus balik, jangan-jangan setelah madrasah diotonomikan ternyata salah masuk kamar.

Menag: Pendidikan Islam Belum Kondusif

SEMARANG, KAMIS - Kondisi Pendidikan Islam di Indonesia saat ini belum kondusif. Hal ini karena sebagian umat Islam di Indonesia belum siap untuk menghadapi dan melakukan transformasi sosial-budaya secara kreatif.
Demikian disampaikan Menteri Agama Maftuh Basyuni melalui sambutannya dalam Seminar Nasional Membangun Pendidikan Islam Berbasis ICT (Information and Communication Technology), di Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, Jawa Tengah, Kamis (12/2).
Menurut Menteri Agama, ketidaksiapan tersebut dapat terlihat dari kondisi budaya dan keagamaan yang masih rapuh, taraf pendidikan umat yang masih rendah, kelembagaan pendidikan yang hanya meniru sistem dari luar, pembelajaran yang tidak inovatif karena hanya melestarikan yang sudah ada, dan orientasi pendidikan yang lebih banyak untuk menjadi pekerja dibandingkan menciptakan lapangan pekerjaan.
"Apa yang saya paparkan bukan untuk memupuk pesimisme, melainkan menjadikan landasan berpikir membangun pendidikan Islam yang cocok dengan perkembangan zaman saat ini," ujar Maftuh.
Untuk itu, Maftuh mengemukakan tiga langkah yang bisa ditempuh agar pendidikan Islam dapat berkesinambungan dengan dinamika masyarakat. Pertama, umat Islam harus berani melakukan lompatan kuantum dengan keluar dari kebiasaan atau pola hidup bermalas-malasan, kurang percaya diri, tidak disiplin, dan produktivitas kerja rendah. Kedua, melakukan transformasi kelembagaan pendidikan. Ketiga, memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi dengan ICT.
"Sains dan teknologi merupakan faktor dominan dalam kebudayaan dan peradaban manusia. Tak ragu lagi, teknologi telah mengubah cara pandang masyarakat," ucapnya.
Rektor IAIN Walisongo Abdul Djamil mengatakan, dalam pendidikan berbasis ICT, guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan melainkan sebagai penuntun muridnya dalam mengakses informasi yang tak terbatas.
Maftuh mengungkapkan, terdapat 28 perguruan tinggi Islam yang terdiri dari 14 IAIN, 6 UIN, dan 8 STAIN yang akan menerapkan pendidikan Islam berbasis ICT ini. Perusahaan yang digandeng sebagai penyedia teknologi dalam hal ini adalah PT Telkom.
Maftuh menambahkan, penerapan ICT dalam lembaga pendidikan Islam juga memungkinkan perguruan tinggi Islam untuk bersaing dengan perguruan tinggi negeri.

Mendiknas Canangkan Pendidikan Gratis di Sulsel

MAKASSAR, JUMAT - Menindaklanjuti janji-janji kampanye Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, Jumat (6/6), di Makassar mencanangkan pendidikan gratis untuki provinsi tersebut.
Pencanangan ditandai dengan penandatangan prasasti oleh Mendiknas di Rumah Jabatan Gubernur, disaksikan Syahrul Yasin Limpo. "Inilah provinsi pertama yang serius melaksanakan pendidikan gratis," ujar Mendiknas Bambang Sudibyo.
Semula, pencanangan hanya dirancang sebagai uji coba pada 11 kabuapten/kota. Namun, kemarin sudah tercakup langsung 23 Kabupaten/kota se-Sulsel. Mendiknas mengharapkan pelaksanaannya berjalan dengan baik dan berhasil sehingga Sulsel kelak dijadikan model secara nasional.
Komponen-komponen pembiyaan yang digratiskan yaitu pembayaran seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru; pembelian buku teks pelajaran buku referensi lainnya; pembelian bahan-bahan habis pakai; pembiayaan kegiataan kesiswaan; pembiayaan ulangan harian, ulangan umum dan ujian sekolah; pengembangan profesi guru; pembiayaan perawatan sekolah; pembiayaan langganan daya dan jasa (listrik,air,telepon); pembiayaan honorarium bulanan guru honorer dan tenaga pendidikan honorer sekolah; pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin dari dan ke sekolah.
Khusus untuk pesantren dan sekolah keagamaan nonmuslim, pendidikan gratis dapat digunakan untuk biaya asrama/pondokan dan peralatan ibadah; pembiayaan pengelolaan pendidikan gratis: alat tulis kantor, penggandaan, surat menyurat dan lain-lain; insentif bagi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan.
Bila terdapat sisa dana dan mencukupi, akan digunakan untuk membeli alat peraga, media pembelajaran dan mobiler. Pada kesempatan tersebut Mendiknas menyerahkan bantuan mobil Taman Bacaan Tahap Pertama kepada 7 kabupaten di Sulsel yaitu Jeneponto, Sinjai, Bulukumba, Barru, Wajo, Bone, dan Pangkep.

Interaktif, Optimalkan PAUD

SEMARANG - Kata kunci dalam pembelajaran pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah interaktif. Semua anak diberi kebebasan memilih mau belajar dengan tema yang disiapkan.

Anggota Bidang Organisasi Himpunan Pendidik dan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Jawa Tengah, Mursyid MAg, mengemukakan hal itu, beberapa hari lalu.

Pengelola PAUD Masjid Al-Azhar Semarang itu menyatakan pengoptimalan pembelajaran PAUD harus melalui dialog yang menyenangkan. "Karena itu syarat pertama jadi guru PAUD harus menyenangi anak-anak. Sebab, mereka dituntut bisa membangun dialog dengan anak secara menyenangkan,î ujarnya.

Sekretaris Jurusan Tadris/MIPA Fakultas Tarrbiyah IAIN Walisongo Semarang itu menuturkan guru PAUD harus bisa jadi pengganti orang tua anak di sekolah. Selain menyenangi anak, mereka harus disenangi anak-anak. Karena itu, mereka mesti memahami dunia anak-anak.

"Tanpa itu, pendidikan tak bisa optimal. Anak tak akan menemukan dunianya dan akhirnya tak bisa mengembangkan potensi."

Guru juga tak boleh memaksa anak melakukan sesuatu. Guru semestinya menawarkan salah satu tema setelah menjalin kesepakatan dengan anak. Jadi setelah anak memilih tema, guru tinggal membimbing dan mengarahkan agar potensi anak tersalur dengan baik.
Berpusat pada Anak
Intinya, ujar dia, pembelajaran anak usia dini berpusat pada anak. Anak jadi subjek pendidikan, bukan objek. Bagaimana kecenderungan anak, ke sanalah guru membimbing dan mengarahkan.

Dia menuturkan ada dua prinsip dasar yang jadi acuan mendidik anak usia dini. Pertama, pembiasaan yang meliputi moral, agama, dan emosi. "Guru dituntut membiasakan anak. Jadi kelak setelah dewasa, ketiga hal itu sudah jadi kebiasan yang tak terpisahkan dalam kehidupan mereka."

Kedua, kemampuan dasar yang meliputi kognitif (pengetahuan), fisik motorik, seni, dan bahasa. Dalam prinsip ini, guru dituntut mendorong semua kemampuan dasar anak berkembang optimal.

Usia emas bagi pendidikan anak 0-18 tahun. Karena itu, jika pada usia tersebut anak dididik secara benar, kelak lebih siap menerima pendidikan tingkat lanjut.

5.151 Anak Usia Pendidikan Dasar Belum Sekolah

YOGYAKARTA, KAMIS - Meskipun angka partisipasi kasar atau APK jenjang SD/MI di DI Yogyakarta mencapai 109,24 persen, namun masih terdapat 5.151 anak usia pendidikan dasar terutama penduduk miskin belum terakses pendidikan dasar. Di luar itu, sebanyak 133.074 anak yang belum tertampung dalam lembaga Pendidikan anak usia dini atau PAUD.
Hal itu diungkapkan Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X dalam rapat Koordinasi Teknis dalam rangka Penyusunan Program dan Kegiatan tahun 2009, Kamis (3/4) di Kepatihan Yogyakarta. Menurut Sultan, pembangunan pendidikan dari aspek perluasan akses pendididkan secara umum di DIY sudah memadai, meskipun diakuinya belum optimal dari tingkat ketercapaian.
Angka Partisipasi Kasar PAUD mencapai 54.81 persen atau 161.403 anak dari jumlah total anak usia dini 294.477 anak . Ini berarti masih ada sebanyak 133.074 anak yang belum tertampung dalam lembaga PAUD. Adapun, angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah (SMA/MA/SMK) mencapai 76,73 persen. Sedangkan, Anak Berkebutuhan Khusus yang belum terlayani sejumlah 1.662 anak dari total Anak Berkebutuhan Khusus 5.781. Di DIY jumlah anak berkubutuhan khusus yang telah terlayani pendidikan sebesar 71,25 persen atau 4.119 anak. "Daya Saing Pendidikan masih perlu ditingkatkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif," katanya

Basket Usia Dini harus Gunakan Teknik Mini Basket

SEMARANG, SABTU - Pendidikan olahraga bola basket untuk anak usia dini seharusnya menggunakan peraturan dan teknik mini basket yang khusus untuk anak. Penerapan peraturan senior basket untuk anak menyebabkan anak tidak menikmati permainan bola basket.
"Meskipun sudah ada peraturan khusus untuk basket anak, masih banyak pelatih yang tidak menggunakannya. Mayoritas lebih memilih menggunakan aturan standar basket yang biasa digunakan pemain profesional," kata pelatih basket senior Danny Kosasih seusai membawakan seminar bertema Teknik dan Strategi Bola Basket Bagi Usia Dini di Kota Semarang, Sabtu (24/1).
Danny yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Kepelatihan Pengurus Daerah Persatuan Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) Jabar ini mengungkapkan, permainan basket untuk anak dibagi atas beberapa kategori, yaitu mini basket (sampai 12 tahun), cadet basket (sampai 16 tahun), dan junior basket (sampai 18 tahun). Masing-masing kategori memiliki aturan dan teknik yang berbeda.
Untuk mini basket misalnya, tinggi tiang basket yang digunakan 2,65 meter, bukan 3,05 meter seperti tinggi tiang standar profesional. Demikian juga untuk ukuran bola, jika pemain profesional menggunakan bola ukuran 7, mini basket menggunakan ukuran 5, sedangkan cadet basket menggunakan ukuran 6.
Lebih dari itu, Danny menyebutkan, mini basket tidak hanya berbicara soal perbedaan teknik. Semangat dari permainan mini basket pun berbeda dengan senior basket. Dalam mini basket, dasarnya adalah pendidikan karakter dan bersifat menyenangkan.
Dalam mini basket, semua adalah pemenang. Karena itu seharusnya tidak ada kejuaraan basket untuk anak tingkat SD atau SMP, yang ada hanya jambore. "Pertandingan berpotensi merusak karakter anak karena anak dituntut untuk menang saja," ujar Danny.
Dalam mini basket, Danny menekankan pentingnya proses yang terjadi ketika anak bermain. Pendidikan basket untuk anak usia dini merupakan wadah untuk menanamkan fundamental permainan basket yang benar. Namun, tetap dengan peraturan yang lebih sederhana ketimbang senior basket.
"Prinsipnya, mini basket itu bermain, tidak melelahkan, kompetitif (bukan dalam pertandingan), semua bermain, peraturan sederhana, mengedepankan etika dan fairplay, serta menyenangkan," ujar Danny.
Selama ini, sedikitnya pihak yang menggunakan mini basket untuk anak usia dini menurut Danny disebabkan oleh tuntutan institusi akan prestasi yang harus diraih anak. Selain itu, kurangnya sosialisasi dari Perbasi juga turut andil, sehingga belum banyak pelatih basket yang memahami pendidikan basket khusus untuk anak.
Guru olahraga SMP Negeri 3 Demak Junaedi mengakui selama ini menggunakan standar permainan basket senior. Dia juga mengatakan belulm lama mengetahui perihal teknik dan aturan mini basket.
"Kami kesulitan menerapkan mini basket, karena sekolah menuntut anak-anak untuk berprestasi. Selain itu, kami juga harus menyesuaikan kurikulum," ujar Junaedi. (UTI)

Anak Usia Emas Andalkan PAUD Nonformal

JAKARTA, SELASA - Layanan pendidikan bagi anak usia emas 0-6 tahun atau dikenal dengan pendidikan anak usia dini terus ditingkatkan. Hingga akhir tahun lalu, sebanyak 48,32 persen dari total 28,24 juta anak usia 0-6 tahun terlayani di PAUD formal dan nonformal.

Mudjito AK, Direktur Pembinaan SD dan TK Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Selasa (4/11), mengatakan perluasan akses anak-anak usia TK dilakukan dengan menyediakan TK di setiap kecamatan atau menyelenggarakan TK di SD yang sudah ada atau sekolah TK-SD satu atap. Anak usia dini yang terlayani PAUD formal dan nonformal meningkat dari tahun 2004 yang berjumlah 39 persen menjadi 48 persen lebih.
Layanan PAUD ini kini berkembang secara nonformal hingga ke tingkat RT/RW. Anak yang dilayani di jenjang TK/Raudhatul Athfal (RA) atau PAUD formal berjumlah 4,2 juta, sedangkan di PAUD nonformal sebanyak 6,8 juta.

Luluk Asmawati, Dosen PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jakarta, mengatakan kesadaran mengenai pentingnya mengoptimalkan PAUD dari pemerintah, orang tua, dan masyarakat yang terlihat meningkat. Namun, jangan sampai layanan PAUD yang diberikan kepada anak usia 0-6 tahun itu terfokus pada target supaya anak bisa cepat membaca, menulis, dan menghitung semata.

Luluk mengatakan dalam usia emas itu yang dibutuhkan anak adalah stimulasi yang tepat dan menyenangkan untuk mengembangkan beragam kecerdasan atau multiple intelligence. "Anak jangan di-drill untuk membaca, menulis, dan menghitung dengan paksa. Sebab, otak anak akan jenuh, malah nantinya di usia belajar dia tidak punya minat lagi untuk belajar," ujar Luluk.

UNPK Dinilai Tidak Adil Bagi Anak

JAKARTA, KOMPAS - Pelaksanaan ujian nasional pendidikan kesetaraan atau UNPK untuk menyetarakan hasil pendidikan nonformal dan informal dengan pendidikan di tingkat SD, SMP, dan SMA, atau sederajat dinilai tidak adil bagi anak. Pasalnya, ketentuan untuk mengikuti UNPK yang ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan dianggap diskriminatif bagi anak-anak yang memilih pendidikan di luar jalur pendidikan formal.

Protes terhadap ketentuan dalam pelaksanaan UNPK yang mulai tahun ini diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dikemukakan para orang tua dan siswa yang tergabung dalam beberapa komunitas homeschooling di Jakarta, Rabu (9/1).
Mereka hadir dalam acara Dwipekan Expo dan Belajar Homeschooling 2008 yang digelar Komunitas Homeschooling Berkemas dan Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia.

Lovely dari Komunitas Homeschooling Kerlip mengemukakan, syarat peserta UNPK untuk memiliki ijazah setingkat lebih rendah di bawahnya dengan usia minimal tiga tahun merupakan ketentuan yang diskriminatif. Artinya, anak-anak homeschooling yang mampu menyelesaikan pendidikan lebih cepat di levelnya menjadi terkendala syarat ini.

Yayah Komariah, Ketua Komunitas Homeschooling Berkemas, mengatakan pelaksanaan UNPK yang dijadwalkan bulan Juli dan November setiap tahunnya dinilai menutup peluang anak-anak lulusan Paket C atau setara SMA untuk ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) pada tahun tersebut. Sebab, perguruan tinggi negeri yang tergabung dalam SPBM mensyaratkan adanya tanda kelulusan saat mendaftar.
Suharsono, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), mengatakan ketentuan bagi peserta UNPK itu diatur dalam prosedur operasi standar yang bisa direvisi setiap tahun, disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Ketentuan yang lebih ketat dalam pelaksanaan UNPK ini dalam rangka menjaga kualitas lulusan pendidikan nonformal sehingga tidak ada lagi pembedaan kompetensi dengan hasil pendidikan formal.

Ramaikan Hari Anak, Ratusan Anak Ikut Lomba Lukis

LEBAK, SABTU - Ratusan anak usia dini mengikuti lomba melukis yang digelar dalam rangkaian memperingati Hari Anak Nasional (HAN) di Kabupaten Lebak, Banten.

Kepala Bidang Pendidikan Nor Formal dan Informal, Dinas Pendidikan, Kabupaten Lebak, Sabtu, mengatakan, kegiatan tersebut bertujuan untuk mendorong anak lebih berkreativitas dan menumbuhkan spiritual bakat dan minat anak.

Oleh karena itu, sejak usia dini perlu didorong jiwa emosional anak lebih mencintai kreativitas, apalagi, anak usia dini masuk kategori usia emas atau golden age.

Menurut dia, peserta kegiatan itu melibatkan Kelompok Bermain (Kober) pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang tersebar di 28 kecamatan dengan jumlah 280 anak antara usia 2-5 tahun.

Pembelajaran mereka saat ini sudah menyebar di pelosok-pelosok pedesaan yang dikelola oleh masyarakat setempat.

"Sebagian besar para tenaga pengajar Kober PAUD dengan suka rela tanpa gaji dari pemerintah," katanya.

Dia mengatakan, perkembangan Kober PAUD di Kabupaten Lebak tahun ke tahun mengalami peningkatan.

Saat ini, kata dia, tercatat sebanyak 67 Kober dengan jumlah 2.027 anak, bahkan sekarang banyak anak petani mengenyam pendidikan anak usia dini.

Dia menjelaskan, kegiatan ini selain melukis juga digelar lomba gerak dan lagu, lompat simpay, menari dan mewarnai.

"Saya kira mereka sangat luar biasa karena sudah tumbuh jiwa kreativitas anak," katanya.

Sementara itu, Ketua Kober PAUD Bina Insani, Rangkasbitung, Nurmanah, mengatakan, pendidikan anak usia dini sangat mempengaruhi jiwa anak hingga dewasa, bahkan daya pikir mereka sudah terbentuk sejak usia dini itu.

Untuk itu, perlu ditumbuhkan jiwa kreativitas mereka agar kelak menjadi generasi yang berkualitas.

"Sejak saya mengelola PAUD dua tahun lalu ternyata animo masyarakat sangat tinggi," jelasnya.

Karimunjawa dan Wedung Dijajaki sebagai Desa Vokasi

SEMARANG - Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional II Jateng-DIY yang sebelumnya Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI) Regional III, pada 2009 akan membuat desa vokasi. Hal itu untuk mendukung Jawa Tengah sebagai provinsi vokasi (kejuruan) yang sudah digulirkan Gubernur Mardiyanto dan dilanjutkan oleh Gubernur Ali Mufiz.

”Provinsi vokasi itu harus memiliki kabupaten/kota vokasi. Agar bisa menjadi kabupaten/kota vokasi maka harus didukung oleh kecamatan dan desa vokasi,” jelas Kepala P2PNFI Regional II Jateng-DIY Dr H Ade Kusmiadi MPd, saat ditemui di kantornya di Jl Diponegoro 250 Ungaran, baru-baru ini.

Tujuan kebijakan itu lebih memberdayakan masyarakat bukan hanya dengan keterampilan dari pendidikan formal, tapi juga dari sekolah informal. ”Intinya, memberikan pendidikan keterampilan kepada masyarakat agar belajar mengembangkan budaya entrepreneurship.”

Dia menjelaskan, salah satu model desa vokasi yang berhasil ialah di Chiang Mai, Thailand. Pemerintah setempat berhasil memberikan pengarahan dan keterampilan kepada masyarakat desa itu dalam hal membudidayakan dan mengembangkan ulat sutra.

”Pola pembinaannya multisektor, terigentrasi, dan jauh dari unsur politis. Mengenai pemasaran produknya, sepenuhnya dibantu pemerintah kabupaten/kota setempat,” tandasnya.
Terjunkan Tim
Ade juga mengatakan, pada akhir 2008 ini pihaknya mencari desa atau dusun yang tepat untuk dijadikan model percontohan desa vokasi atau desa vokasi binaan pendidikan nonformal (PNF).

”Kami membidik sebuah desa di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara dan sebuah dusun di Desa/Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak.”
Ade mengaku sudah menerjunkan tim untuk melakukan pembicaraan awal dengan para pejabat terkait di dua wilayah kabupaten tersebut.

Ade Kusmiadi yang juga mantan kepala BPPNFI Regional II Bandung itu mengatakan, lembaganya pada 1993 pernah membuat sekolah PNFI di Pulau Panjang, Banten, Jabar. Sebab, pada saat itu masyarakat setempat belum terlayani pendidikan formal.

”Prinsip P2PNFI adalah menjangkau yang belum terjangkau dan melayani yang belum terlayani. Mudah-mudahan saja model yang ada di Chiang Mai, Thailand atau yang sudah kami terapkan di Banten bisa dilakukan di Karimunjawa atau di Wedung.”

Pencerdasan Belum Jadi Prioritas

ADA keprihatinan yang perlu direspons serius di negeri ini berkenaan dengan pendidikan pada tahun 2003. Pendidikan belum dianggap sebagai faktor pokok penyebab keterpurukan bangsa ini. Buktinya, selama ini tudingan-tudingan sebagian besar pengamat, apalagi para politikus, hanya diarahkan pada aspek ekonomi dan politik. Pendidikan seolah-olah bukan bagian utama penyebab nyaris ambruknya negeri ini.
Realitas ini menunjukkan, bangsa ini belum bisa berpikir jauh ke depan. Artinya, kapasitas dan wawasan kita masih berkutat pada kondisi kekinian, sehingga solusi dan pemecahan problem juga melulu bersifat teknis-pragmatis, bukan strategis jangka panjang.
Memang solusi teknis-pragmatis sangat dibutuhkan, tetapi semestinya solusi itu tidak mengorbankan program-program strategis jangka panjang. Karena itu, diperlukan keberanian untuk menetapkan prioritas di bidang pendidikan, sehingga sektor-sektor lain mengalami penghematan demi peningkatan kualitas pendidikan.
Pelanggaran Etik
Di Jawa Tengah, sepanjang tahun 2003 masih sering terjadi pelanggaran nilai moral dan etik. Indikatornya perkelahian antarpelajar, aksi corat-coret, pengalahgunaan obat/ zat terlarang, hubungan seks bebas, keterlibatan dalam pembunuhan, mengompas, menjambret, manipulasi nilai, penyalahgunaan wewenang/kekuasaan, dan korupsi. Selain itu, perilaku tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, ketidakjujuran, krisis kewibawaan, kehidupan berpura-pura, penurunan etika kerja, meningkatnya egoisme, dan menurunnya tanggung jawab warga negara.
Kondisi itu sebagai wujud kekurangberhasilan pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Itu karena pendidikan lebih berorientasi pada pengembangan aspek kognitif dan psikomotor, sedangkan aspek afektif terabaikan.
Meski demikian, pembangunan pendidikan di Jawa Tengah pada tahun 2003 sudah mengalami peningkatan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Namun secara garis besar, masih terdapat permasalahan yang berkaitan dengan kualitas, relevansi, pemerataan, efisiensi, lemahnya manajemen, dan kemandirian pendidikan.
Hal itu dapat dilihat dari pencapaian indikator pembanguan pendidikan pada tingkat sekolah dasar. Angka partisipasi kasar (APK) 107,79%, angka transisi 82,37%, dan angka drop out 0,34%. Adapun di tingkat sekolah lanjutan tingkat pertama, APK-nya 78,40%, angka transisi 36,65%, dan drop out 1,18%. Pada tingkat sekolah lanjutan atas, APK-nya 40,21% dan drop out 1,18% serta tingkat melanjutkan ke perguruan tinggi relatif rendah. Penyebabnya antara lain rendahnya kondisi sosial dan ekonomi keluarga dan keterbatasan daya tampung perguruan tinggi.
Di samping itu, masih relatif banyak penduduk berusia 10 tahun ke atas yang tergolong buta aksara, yakni 792.418 orang. Adapun dari usia wajib belajar (7-15 tahun), yang tidak bersekolah 162.491 anak.
Pada sisi lain, perhatian dan keinginan masyarakat/ swasta (dunia usaha dan industri) terhadap penyelenggaraan pendidikan nonformal masih sangat rendah. Penyebabnya, keterbatasan fasilitas, sarana, dan prasarana serta belum adanya standar kompetensi tamatan pada tiap-tiap lembaga.
Kualitas dan relevansi pendidikan yang belum sesuai dengan harapan sangat berkaitan dengan input dan output proses pendidikan, tampak pada pencapaian rasio hasil ujian akhir dan penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang belum dipahami oleh semua guru. Selain itu, keterbatasan penyediaan prasarana/sarana pendidikan, rendahnya mutu, kesejahteraan dan kekurangan tenaga kependidikan yang profesional, serta kurang relevannya (missmatch) antara tamatan pendidikan, kualifikasi/standar kompetensi, dan kebutuhan dunia usaha/industri.
Kurangnya kualitas pendidikan juga bisa dilihat dari masih adanya guru di Jawa Tengah yang kualifikasi ijazahnya belum menggambarkan kewenangan mereka sebagai pendidik di jenjang tertentu. Dari guru SMU negeri dan swasta kurang lebih 27.000 orang, 35% berpendidikan bukan sarjana keguruan. Guru SMK negeri dan swasta kurang lebih 6.000 orang, 40% bukan sarjana pendidikan. Guru SLTP negeri dan swasta kurang lebih 62.500 orang, 50% berpendidikan D3 keguruan, sarjana muda pendidikan, dan sarjana pendidikan. Guru SD negeri dan swasta kurang lebih 163.750 orang, yang berpendidikan SLTP, SLTA non-keguruan, dan D1 keguruan kurang lebih 36%.
Manajemen dan kemandirian sekolah juga masih lemah karena belum optimalnya keterlibatan sekolah dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Akibatnya, pelaksanaan program manajemen berbasis sekolah (MBS) yang telah dirintis sejak 1999/2000 belum memberikan hasil optimal.
Selain itu, partisipasi masyarakat baik secara individual, kelompok, maupun melalui komite sekolah dan dewan pendidikan masih terbatas pada dukungan pendanaan, belum mengarah pada pembelajaran (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). MBS yang menawarkan keleluasan pengelolaan sekolah dan berpotensi besar untuk turut menciptakan kepala sekolah, guru, dan pengelola sistem pendidikan secara profesional, belum terwujud.
Dewan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah memang telah dibentuk di setiap kabupaten/ kota dan sekolah di Jawa Tengah. Namun kinerja dua lembaga itu pun belum menunjukkan hasil sesuai dengan peran yang diemban.
Adapun penyediaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana pendidikan masih jauh di bawah standar nasional. Tidak sedikit gedung sekolah yang roboh dan tak layak sebagai tempat pembelajaran. Semua itu belum tuntas teratasi. Penyediaan buku pelajaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah juga tidak ditangani secara profesional, baik dari segi isi, kualitas, maupun kesesuaiannya dengan kurikulum berlaku sehingga banyak dipermasalahkan berbagai pihak.
Rencana tukar guling SMK 7 Kota Semarang yang lebih berorientasi pada kepentingan bisnis dan mengabaikan pengembangan pendidikan pada masa depan, tampak dilakukan tanpa perencanaan yang jelas dan matang oleh pemerintah daerah. Akibatnya, timbul pro-kontra yang hingga sekarang tak terselesaikan.
Anehnya, pihak yang seharusnya ikut memberikan pertimbangan dan sumbangan pemikiran, yaitu Dewan Pendidikan, Dinas Pendidikan, dan DPRD, tidak berperan. Malahan ada kecenderungan mendukung rencana tersebut. Ini tentu menjadi pertanda awal merosotnya kewibawaan pendidikan yang dioblok-oblok pihak yang berkuasa.
Prioritas Utama
Sekalipun pembaruan sistem pendidikan telah dilakukan lewat pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada 8 Juli 2003, belum semua pihak memahami isi undang-undang tersebut. Hal ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat yang peduli pada pendidikan, sehingga visi, misi, strategi, dan tujuan pendidikan terwujud.
Prioritas pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah dan di Indonesia pada umumnya, semestinya adalah pengimplementasian kembali program-program pembentukan sumber daya manusia (SDM) yang bermutu, baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal, maupun informal. Dengan begitu, diharapkan terwujud SDM yang memiliki kompetensi sesuai dengan standar nasional, regional, dan global.
Kebijakan pembangunan bidang pendidikan untuk tahun 2004 di provinsi ini hendaknya diarahkan pada beberapa hal. Pertama, perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi menuju terciptanya manusia yang berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti dan meningkatnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.
Kedua, peningkatan kemampuan akademik, profesional, dan vokasional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mampu berfungsi secara optimal, terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga kependidikan.
Ketiga, melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum. Wujudnya, diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagamaan peserta didik, penyusunan kurikulum yang mengacu pada standar nasional yang berlaku secara nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat. Selain itu, diversifikasi jenis pendidikan secara profesional.
Keempat, memberdayakan lembaga pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan. Juga meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kelima, peningkatan akuntabilitas, transparansi, serta efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan melalui peningkatan manajemen berbasis sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Keenam, mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai hak, dukungan, dan lindungan sesuai dengan potensinya.
Ketujuh, pemberdayaan lembaga pendidikan baik formal dan nonformal di dalam pembentukan dan pengembangan kualitas SDM sedini mungkin, termasuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peningkatan keimanan dan ketakwaan secara terarah, terpadu, dan berkelanjutan.
Kedelapan, memberdayakan dewan pendidikan dan komite sekolah/ madrasah sebagai wujud peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Sasaran pendidikan harus tetap diarahkan pada meningkatnya kualitas pendidikan, relevansi pendidikan, pemerataan pelayanan pendidikan, efisiensi pendidikan, dan manajemen serta kemandirian pendidikan. Untuk dapat mewujudkan hal itu, diperlukan strategi tertentu. Yaitu pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; dan peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu, penyediaan sarana belajar yang mendidik; pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; pelaksanaan wajib belajar; pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; dan perdayaan peran masyarakat.
Hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan; dan pemetaan pendidikan baik ditingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota dan sekolah. Dengan strategi tersebut, diharapkan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.

"Homeschoolers", Bisa Kuliah juga, Kok...

Sekolah rumah atau homeschooling, terutama di kota-kota besar, mulai populer. Apa sih homeschooling?
Singkatnya, homeschooling itu metode pendidikan belajar-mengajar yang dilakukan di rumah, baik oleh orangtua maupun tutor. Sebenarnya sih enggak harus di rumah. Intinya, mereka yang menjalani homeschooling harus bisa belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.
Materi pelajaran buat siswa homeschooling atau homeschoolers itu bisa sesuai dengan kurikulum nasional (sama dengan yang dipelajari abu-abuers di sekolah formal), kurikulum internasional, atau gabungan. Waktu belajarnya lebih fleksibel, jadi biasanya homeschoolers punya banyak kesempatan mendalami bidang pelajaran sesuai minat dan potensi masing-masing.
Pendidikan homeschooling bisa dilakukan satu keluarga, beberapa keluarga, atau bergabung dalam komunitas homeschooling. Karena keberadaannya sebagai salah satu bentuk pendidikan informal diakui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kamu enggak usah khawatir soal ijazah.
Peserta homeschooling seusia siswa SMA bisa ikut ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) Paket C, setara SMA. Kamu bisa ambil UNPK IPA dan IPS yang diselenggarakan dua kali setahun, pada Juli dan November.
Ada juga sih yang ikut ujian nasional (UN) di sekolah formal. Misalnya di Komunitas Sekolah Rumah Pelangi, Tangerang, homeschoolers punya dua pilihan. Mereka bisa ikut UNPK Paket C yang biayanya lebih murah, atau ikut UN SMA yang artinya bergabung dan bayar uang pendaftaran di suatu sekolah agar dimasukkan sebagai siswa yang berhak ikut UN.
Apa lulusan homeschooling enggak didiskriminasi? Seharusnya sih enggak boleh ada diskriminasi. Kan, dijamin undang-undang. Lagi pula, UNPK Paket C yang diikuti homeschoolers juga diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN. Standar nilai kelulusannya pun sama.
Alternatif
Buat mereka yang sibuk berkarier selain sekolah, seperti pemain sinetron yang hampir tiap hari shooting, homeschooling menjadi pilihan menarik. Atlet yang harus konsentrasi berlatih dan bertanding enggak usah khawatir bakal enggak bisa namatin sekolah karena tersedia pendidikan yang bisa menyesuaikan jadwal peserta.
Lha, abu-abuers yang bukan figur publik, apa alasannya ber-homeshooling?
Michael Tumiwa (19), warga Pamulang, Tangerang, bergabung dengan homeschooling Kak Seto karena stres berada di lingkungan sekolah formal yang pergaulannya bisa berdampak negatif buatnya.
”Rasanya enggak konsentrasi sekolah karena banyak teman pakai narkoba. Aku merasa enggak nyaman di sekolah. Pas kelas III SMA, aku keluar, ikut homeschooling,” kata Michael yang sejak 2007 menjadi mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta.
Biar dari homeschooling, dia enggak merasa beda dengan teman-teman lain lulusan sekolah formal. Sebagai homeschooler, Michael juga belajar bidang studi yang sama seperti saat dia menjadi siswa SMA jurusan IPS.
”Asyiknya, waktu dan cara belajar homeschooling fleksibel, tapi bukan berarti seenaknya. Justru aku harus bisa belajar sendiri. Tiap Senin dan Rabu selama dua jam aku datang ke homeschooling Kak Seto, bertemu teman-teman dan tutor sambil belajar bersama. Selebihnya, belajar sendiri di rumah,” tutur Michael yang hobi main gitar ini.
Karena enggak harus sekolah tiap hari, dia jadi punya waktu menjadi guru privat gitar. Selain menyalurkan hobi, sekalian dapat duit. Urusan pendidikan pun enggak terbengkalai.
Ivan Rizki (19), mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations, juga lulusan homeschooling Kak Seto. Bagi Ivan, homeschooling adalah harapan terakhir untuk menyelesaikan SMA.
”Aku beberapa kali pindah sekolah di SMA yang bonafide. Tapi aku enggak cocok dengan cara belajar di sekolah formal yang serba ngikutin aturan. Aku enggak nyaman belajar di sekolah. Terus, aku baca di media bahwa ada homeschooling. Aku jadi bersemangat buat menyelesaikan SMA-ku dengan cara yang lebih sesuai buatku,” ujar Ivan.
Kebutuhan individu
Apa yang dialami siswa seperti Ivan, dalam pandangan Seto Mulyadi, Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif, memerlukan metode pendidikan sesuai kebutuhan individu.
Siswa yang punya kendala psikologis (mudah stres dan tertekan belajar di sekolah), geografis (tempat tinggal jauh dari sekolah), dan ekonomis (dari keluarga tak mampu), bisa menemukan alternatif pendidikan dengan homeschooling yang umumnya fleksibel, menyesuaikan dengan minat dan potensi tiap individu.
Ivan bercerita, sebagai homeschooler, tak berarti dia bebas dari kewajiban belajar seperti di sekolah. ”Dengan homeschooling, aku lebih bisa menerima pelajaran. Aku punya jadwal belajar, dan itu dipantau para tutorku,” katanya.
Saat mendaftar perguruan tinggi, Michael dan Ivan enggak mengalami kesulitan meski mereka lulusan Paket C. Mereka yang mau ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) juga enggak ditolak meski berijazah Paket C. Ada juga, kok, homeschoolers yang diterima di perguruan tinggi negeri seperti Universitas Indonesia.
Gilang Pratama (17), homeschooler yang bergabung dengan Komunitas Homeshooling Berkemas di Jakarta, sedang menyiapkan diri ikut UNPK Paket C IPA. Ia belajar diselingi main piano yang jadi hobinya.
Kata Gilang, dia memutuskan ikut homeschooling pada Januari lalu, sekembalinya dari program homestay di negeri Paman Sam selama setahun. Gilang mesti balik lagi di kelas dua pada sekolah lamanya.
”Aku rugi setahun dong. Terus, aku dapat informasi, pendidikan homeschooling sudah ada dan diakui,” ujar Gilang yang bakal bertolak ke Jerman guna kuliah di bidang komputer.

Anak-anak TKI di Sabah Kini Bisa Nyanyi "Indonesia Raya"

Mengharukan juga melihat dan mendengar anak-anak kelas 3 SD Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) menyanyikan lagu "Indonesia Raya" dan "Garuda Pancasila" sebelum mereka memulai belajar.
"Inilah cara kami mengenalkan Indonesia dan menumbuhkan rasa cinta pada diri anak-anak TKI di Sabah terhadap negara tercinta, Indonesia," kata Dadang Hermawan, Kepala Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Sabah, Borneo.
Sekitar 80 persen, anak-anak TKI yang sekolah di SIKK lahir di Sabah. Mereka kurang mengenal Indonesia. Lahir karena orang tua mereka adalah buruh perkebunan kelapa sawit. Anak-anak TKI itu tumbuh dan besar di negeri orang tanpa bisa mengecap pendidikan formal seperti umumnya anak-anak Indonesia di tanah air dan anak-anak warga Malaysia.
"Tidak betul juga jika dikatakan anak-anak TKI tidak bisa belajar di sekolah Malaysia. Yang dilarang adalah sekolah kebangsaan karena itu ada subsidinya. Anak warga asing seharusnya sekolah di swasta atau sekolah internasional," kata atase pendidikan KBRI Kuala Lumpur, Imran Hanafi.
"Di sinilah persoalannya, orang tuanya berprofesi sebagai TKI tidak mampu membayar sekolah swasta apalagi sekolah internasional sehingga ribuan anak-anak TKI bisa mengecap pendidikan formal," tambah dia.
Ditambah lagi, peraturan imigrasi Malaysia melarang pekerja asing membawa anggota keluarganya, baik anak dan istri, termasuk dilarang kawin.
Namun kenyataannya, TKI yang bekerja di Sabah, apakah itu menjadi buruh perkebunan kelapa sawit atau menjadi pembantu, membawa keluarganya. Para majikannya tampaknya mengijinkan hal itu demi kenyamanan dan loyalitas kerja para buruhnya.
Menurut data KJRI Kota Kinabalu tahun 2006, ada sekitar 24.199 anak-anak TKI di Sabah tidak bisa mendapatkan pendidikan. Karena saat itu yang dicatat hanya anak-anak usia sekolah maka pada tahun 2008, diperkirakan 30.000 anak-anak TKI yang tidak mengecap pendidikan formal.
Hambatan Sekolah
Masalah buruh di perkebunan kelapa sawit untuk tidak boleh kawin dan membawa keluarga menjadi suatu dilema. Aturan imigrasi Malaysia memang buruh asing dilarang kawin dan membawa keluarganya, kecuali ekspatriat.
Hal itu diakui Manajer SDM Sabah Land Development Board (SDLB) Syaheddrul Joddari. "Kami punya buruh laki-laki dan wanita. Walaupun kami selalu melarang mereka kawin, tapi yang namanya cinta sulit dicegah. Perkawinan baik resmi atau tidak terjadi di perkebunan hingga mereka punya anak," katanya.
Melihat ada buruh yang kawin, punya istri dan anak sudah tentu mendorong buruh yang punya istri di kampung untuk membawa keluarganya ke Sabah. Hal ini berlangsung sekian lama sehingga ribuan anak-anak buruh perkebunan kelapa sawit kini tidak bisa mengecap pendidikan formal. Apalagi setelah ada revisi UU Pendidikan di Malaysia yang mendiskriminasi anak buruh asing bersekolah di sekolah milik pemerintah karena ada unsur subsidinya.
"Bagi majikan dan perusahaan perkebunan, ada keluarga buruh menciptakan kenyamanan kerja bagi si buruh. Jika nyaman maka loyalitas kerja juga bagus. Selain itu, anak-anak dan istri buruh juga bisa sekaligus bekerja untuk menambah penghasilan keluarga. Apalagi anak-anak buruh tidak bersekolah maka bekerja di perkebunan kelapa sawit selain menambah penghasilan juga kegiatan yang baik untuk membunuh waktu," kata konsuler bidang ketenagakerjaan KJRI Kota Kinabalu, Umbara Setiawan.
Anak tidak bisa sekolah sudah tentu akan menambah panjang kemiskinan keluarga buruh. Pemerintah Indonesia dan Malaysia dibantu LSM Humana berbasis di Eropa mencoba mengadakan sekolah informal. Anak-anak TKI dan buruh Filipina diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Tidak ada jenjang kelas. Yang penting bisa membaca, menulis dan berhitung.
Pemerintah Malaysia juga sudah meminta perusahaan perkebunan secara sukarela menyediakan gedung sekolah informal. Kini ada sekitar 90 gedung sekolah informal yang dikelola Humana dengan jumlah murid sekitar 7.000 orang. Sejak tahun 2007, Indonesia telah mengirimkan 109 guru.
Tapi upaya pemerintah Indonesia tidak cukup sampai di situ saja. Atas dasar hubungan baik kedua negara, kedua kepala pemerintahan sepakat untuk mengijinkan adanya sekolah Indonesia di Kota Kinabalu bagi anak-anak TKI.
Sudah Operasi
Sekolah Indonesia Kota Kinabalu beroperasi sejak 1 Desember 2008 dengan jumlah 274 murid sekolah dasar (SD). SIKK memiliki enam ruang kelas di kompleks pertokoan Alam Mesra, Kota Kinabalu.
Dengan enam kelas, SIKK ini dapat menampung 326 anak TKI, tapi kini baru menampung 274 anak karena baru empat guru termasuk kepala sekolah ikut mengajar. "Dalam waktu dekat akan ada empat guru tambahan lagi datang dari Indonesia," kata Dadang Hermawan.
"Agar dapat memberikan pendidikan yang lebih luas kepada anak-anak TKI, SIKK akan mengadakan pendidikan non formal melalui paket A, paket B dan paket C, " tambah dia.
Untuk tahun pertama, seluruh anak-anak SIKK diberikan seragam baru "Merah Putih" dan buku-buku pelajaran. "Mereka sangat antusias dalam belajar. Masuk pukul tujuh tapi pukul 6 banyak yang sudah tiba di sekolah. Itu artinya mereka sudah meninggalkan rumah ke sekolah jam 05 pagi," ungkap Dadang.
Orang tua murid, Edijatmiko, asal Malang mengaku sangat senang ada sekolah Indonesia di Kota Kinabalu karena kini anaknya bisa mendapatkan pendidikan informal. "Selama ini, anak-anak kami hanya sekolah seperti madrasah di kampung. Tidak bisa masuk ke sekolah formal," katanya.
Menurut data KJRI, ada 576 anak TKI yang ingin sekolah di SIKK. Tapi setelah diadakan seleksi dan evaluasi hanya 274 yang bisa masuk sekolah formal. "Banyak anak-anak TKI di usia 11 tahun tapi belum bisa baca. Terpaksa kami tidak bisa terima," kata Kepsek SIKK Dadang.
Nabila, murid kelas I SIKK, mengaku senang bisa sekolah di SIKK. "Teman-teman juga senang bisa memakai seragam merah putih, seragam sekolah Indonesia. Saya kini sudah hafal lagu Indonesia Raya dan Garuda Pancasila," katanya sambil tersenyum.

Buta Huruf Sebabkan Kemiskinan

PATI - Makna hari aksara adalah mendorong peningkatan kesadaran dan tekad pemberantasan buta huruf. Hal tersebut, mengingat buta huruf merupakan penyebab utama kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan masyarakat.
Gubernur Jateng H Mardiyanto menegaskan hal tersebut dalam sambutan tertulis yang dibacakan Wagub H Ali Mufiz MPA pada peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) Jawa Tengah, di Alun-alun Simpanglima Pati, kemarin.
Keprihatinan tersebut, lanjut dia, menjadi pengakuan dunia bahwa pemberantasan buta huruf melalui pendidikan nonformal merupakan bagian integral dari sistem pendidikan.
Oleh karena itu, peringatan HAI yang tiap tahun dilakukan hendaknya semakin mampu meningkatkan kesadaran dan tekad pemberantasan buta huruf yang masih banyak dialami lapisan masyarakat dunia. Tidak terkecuali di Jawa Tengah, karena sampai dengan 2004 masih terdapat sekitar 724.000 orang yang buta huruf berusia 10-40 tahun.
Di Indonesia, masalah pendidikan nonformal telah dipertegas dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), yang menyatakan pendidikan nasional dilaksanakan melalui jalur formal, nonformal, dan informal.
Ditetapkannya UU tersebut, adalah sejalan dengan dinamika globalisasi dunia pendidikan yang dihadapkan pada berbagai tantangan besar. Tantangan dimaksud, yaitu dituntut mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) berkemampuan tinggi dalam persaingan pasar kerja global. ''Seiiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka diperlukan perubahan dan penyesuaian SPN,'' ujarnya.
Posisi sama
Hal tersebut, untuk mencapai terwujudnya proses pendidikan yang lebih demokratis dan memperhatikan keberagaman kebutuhan maupun keadaan daerah, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Untuk memujudkan proses pendidikan dimaksud, maka jalur pendidikan nonformal ditempatkan pada posisi sama dengan jalur pendidikan formal dalam penguatan SDM yang berkualitas.
Di Jawa Tengah, kini tercatat sekitar 283 unit PKBM yang perkembangannya ke depan dapat dibentuk di setiap kecamatan yang ada. Hal itu untuk percepatan pelayanan pembelajaran kepada masyarakat bersama-sama dengan berbagai lembaga pendidikan nonformal lainnya, seperti pusat kegiatan wanita, sentra pemberdayaan pemuda, dan kelompok pembelajaran swadaya masyarakat.
Dalam kesempatan tersebut, Wagub menyerahkan piagam penghargaan kepada para juara lomba yang diselenggarakan untuk memperingati Ke-39 HAI di Jawa Tengah. Di antaranya kepada Bupati Purbalingga, Drs Triyono Budi Sasongko MSi karena peran sertanya dalam mendukung program pengembangan bidang pendidikan luar sekolah (PLS).

Mempercepat Wajib Belajar 9 Tahun

SESUAI dengan undang-undang, anggaran pendidikan akan dinaikkan menjadi 20% dari APBN. Terkait dengan rencana peningkatan anggaran pendidikan, hal yang perlu dibahas adalah pencapaian program pemerataan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan.
Tulisan ini merupakan sumbangan pemikiran dengan melihat salah satu sudut permasalahan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Pokok persoalan yang hendak dikaji adalah mengupayakan agar kejar paket mendukung pelaksanaan program pendidikan wajib belajar (wajar) 9 tahun, yang selama ini masih menghadapi berbagai kendala.
Kejar paket dan wajib belajar 9 tahun merupakan dua unsur yang dapat saling mendukung untuk pencapaian program pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Bagaimana kaitan kejar paket dan wajib belajar 9 tahun? Untuk menjawab hal itu, lebih dulu dikemukakan pengertian istilah kejar paket. Di tengah masyarakat, dikenal istilah kejar paket A, B, dan C. Kejar merupakan kependekan dari istilah ''kelompok belajar''. Paket A, Paket B, dan Paket C terkait dengan tingkatan kelompok belajar. Kejar Paket A merupakan program kelompok belajar setara SD, Kejar Paket B setara dengan SMP/MTs, dan Kejar Paket C setara dengan SMA/MA.
Kejar paket dilaksanakan dalam berbagai institusi, di antaranya adalah dalam institusi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional 2004, kelompok belajar termasuk dalam kategori pendidikan nonformal.
Kejar paket keadaannya masih memprihatinkan. Pemerintah selama ini masih sangat terbatas dalam memberikan perhatian pada program ini. Di satu pihak, kejar paket dianggap dibutuhkan, tetapi semua keadaannya serba kekuarangan. Hidup dan mati kejar paket sangat tergantung pada relawan. Penyelenggara, tutor, dan (Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) dalam menjalankan tugas hanya mendapatkan insentif yang sangat kecil atau bahkan tidak mendapatkan.
Pembinaan pemerintah terhadap pelaksanaan kejar paket di tingkat pusat dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Di daerah-daerah pembinaan dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi atau Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Akan tetapi, perhatian pemerintah untuk pendidikan nonformal tidak seperti pendidikan formal yang dilakukan melalui sistem sekolah. Pemerintah belum memberikan perhatian yang cukup pada pelaksanaan pendidikan nonformal.

Jumat, 06 Maret 2009

Jajaki Tawaran Waralaba Kursus Kreatif Anak

Sebagian besar kursus anak-anak bertujuan mendukung prestasi di sekolah formal seperti bahasa Inggris, matematika, dan lain-lain. Tapi, sekarang, ada jenis kursus non akademis baru, selain kursus musik. Kaitan kursus ini dengan pelajaran di sekolah, terlalu jauh. Malah, sebagian lokasinya di pusat perbelanjaan.
PT Digital Studio Crative Education menawarkan program belajar nonformal semacam itu. Lewat anak perusahaannya, PT Kidspiration, perusahaan ini menawarkan kursus seni kreatif dan teknologi bernama XTion. "Soalnya, minat anak-anak ke dunia gambar dan teknologi begitu besar," jelas Ira Kania Defira, Manajer Operasi Xtion.
Target konsumen XTion yang aslinya berasal dari Australia ini adalah pelajar. "Sasaran kami anak sekolah dari TK, SD dan SMP," ujar Ira di kantornya di Graha SMKG, Kelapa Gading. Atau, usia sekolah berumur 5-12 tahun. Dan memang, murid di XTion kebanyakan para siswa dari sekolah yang ada di sekitar Kelapagading, Rawamangun, Sunter, dan Bekasi.
XTion ingin tampil beda dari yang kursus lain. Mereka menawarkan konsep pembelajaran seni, kreativitas, dan teknologi dengan metode yang mudah dan menyenangkan bagi anak-anak. Nah, agar bisa tercatat sebagai siswa di XTion, Kidspiration mewajibkan uang pendaftaran sebesar Rp 200.000.
Program yang ada di XTion antara lain Artistic Drawing. Anak-anak diajari teknik menggambar melalui konsep bentuk, warna, proporsi, pencahayaan, penambahan imajinasi, dan story telling.
Ada dua tingkatan kelas kursus: Picasso 1 untuk anak usia 5 tahun - 8 tahun serta Picasso 2 untuk usia 8 tahun - 12 tahun. Frekuensi pertemuan masing-masing kelas 12 kali selama tiga bulan. Masing-masing pertemuan selama satu jam. Biaya kelas Picasso dari Rp 250.000 hingga Rp 300.000 per bulan. "Tergantung tingkat kelasnya," ujar Ira.
Ada pula program Manga Drawing bagi penyuka komik Jepang. Di program ini murid belajar teknik dasar membuat karakter, ekspresi, dan menggambar komik secara manual dan komputer. Ada enam level di program ini, mulai tingkat menggambar karakter dasar seperti muka, kepala, kostum dan perabotan hingga mendisain karakter dan komik sendiri.
Frekuensi pertemuan sebanyak 16 kali per level selama empat bulan. Setiap kali pertemuan berlangsung selama 1,5 jam. Biaya pendidikan mulai Rp 300.000 sampai Rp 350.000 per bulan. Program terakhir adalah Computer for Kids, belajar komputer dalam lima level. "Biayanya mulai dari Rp 300.000 hingga Rp 400.000," sebutnya.

Membuka waralaba

Nah, mulai tahun ini Kidspiration menawarkan kerjasama mendirikan XTion Station dengan sistem waralaba yang terdiri dari dua jenis produk. Untuk Artistic Drawing, program diadaptasi dari CreARTive Kids Australia. "Untuk wilayah Indonesia, kami menjadi master franchisenya," ujar Ira.
Sementara, untuk program Manga Drawing dan Computer for Kids merupakan hasil olahan Kidspiration sendiri. XTion menargetkan bisa membuka outlet di sekitar Jabodetabek. "Seperti Bekasi, Kemang Pratama, Pluit, Manggadua, Daan Mogot, dan BSD," papar Ira. Lalu, tahun depan, baru menyasar pasar di luar Jabodetabek. "Sudah banyak peminat yang berasal dari luar DKI," jelas Ira.
Syarat jadi terwaralaba adalah memiliki ruko minimal dua lantai seluas kurang lebih 160 meter persegi, membayar initial fee sebesar Rp 125 juta untuk lima tahun dengan total investasi senilai Rp 370 juta. "Mereka juga harus membayar royalty fee sebesar 10 persen dari omset per bulan," terang Ira.
Dukungan dari Kidspiration berupa penggunaan merek XTion, tenaga pengajar, supervisi manajemen, kurikulum, standar perlengkapan kelas, modul pengajar dan siswa, program pemasaran, sertifikat, dan sistem standar laporan keuangan.
XTion memprediksi omset terwaralaba sekitar Rp 60 juta per bulan. Dengan asumsi, satu hari empat kelas yang masing-masing terisi lima siswa dan terdiri dari dua sesi. Artinya, sehari ada 40 siswa. Karena seminggu ada lima hari, dalam sebulan ada 200 siswa dengan biaya rata-rata Rp 300.000.
Dengan murid sebanyak itu, omzetnya Rp 60 juta. Dikurangi royalty fee 10 persen (Rp 6 juta), gaji staf (Rp 13 juta), dan biaya operasional Rp 20 juta per bulan, berarti pendapatan bersih mencapai Rp 20,9 juta per bulan. "Kami perkirakan balik modal selama 18 bulan," imbuh Ira. (Rizky Herdiansyah)

Turun, Jumlah Penyadang Buta Aksara di DKI

JAKARTA, SABTU - Angka penyandang buta aksara di Jakarta terus menurun selama dua tahun terakhir. Sepanjang tahun 2008, jumlah penduduk yang tidak bisa membaca sebanyak 72.553 orang atau 0,82 persen dari jumlah penduduk Jakarta sebesar 9,5 juta jiwa dan tahun 2007 tercatat sebanyak 85.753 orang.
"Angka ini masih jauh lebih kecil dari angka buta aksara secara nasional yang mencapai sebesar 5 persen," kata Kepala Dinas Pendidikan DKI Taufik Yudi Mulyanto, Sabtu (31/1).
Taufik mengatakan, penyandang buta aksara ini tersebar di lima wilayah ibukota. Mereka umumnya berusia 19 tahun ke atas. Penyebabnya antara lain masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk belajar membaca dan menulis serta faktor himpitan ekonomi sehingga menyebabkan seseorang tidak mampu mengenyam pendidikan di sekolah. Dari catatan Dinas Pendidikan DKI, beberapa penyandang buta aksara adalah korban putus sekolah.
PKBM
Taufik mengatakan, pihaknya akan memerangi buta aksara dengan melakukan terobosan antara lain terus menggiatkan pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Tempat ini merupakan wadah pendidikan non formal yang dikelola pemerintah dan swasta.
Menurut dia, jenjang pendidikan yang diberlakukan adalah program kegiatan belajar (Kejar) paket A, B, dan C. "Untuk tahun ini, kami menargetkan pemberantasan buta aksara antara 5.00010.000 orang sehingga ke depan angka buta aksara di ibukota terus berkurang," papar Taufik

Mantan Kepala Dinas Olahraga DKI Jakarta ini menuturkan, sejak diberlakukan beberapa tahun silam, PKBM ini ternyata cukup efektif untuk mengentaskan para penyandang buta aksara menjadi melek huruf. Saat ini, jumlah PKBM di DKI sebanyak 134 PKBM, di antaranya 35 PKBM dikelola pemerintah dan 99 PKBM dikelola swasta. (PIN)

Pendidikan Nonformal Gratis untuk Anak Putus Sekolah

JAKARTA, SENIN - Tingginya angka putus sekolah, banyaknya anak jalanan dan anak terlantar di Indonesia membuat banyak pihak prihatin, tak terkecuali Yayasan Pendidikan Indonesia-Amerika (Indonesian-American Education Foundation) di Jakarta atau di singkat Jakarta IAEF. Jakarta IAEF akan membangun gedung dan memberikan pendidikan nonformal gratis buat anak-anak tersebut.
Demikian diungkapkan Ketua Jakarta IAEF Daniel Dhakidae, Ketua Pembina Jakarta IAEF Azyumardi Azra, anggota Pembina IAEF Jakarta Aristides Katoppo, dan President Dallas IAEF Henny Hughes, kepada pers Senin (27/10) di Jakarta. "Idenya membangun suatu yayasan untuk kepentingan pendidikan, terutama untuk anak-anak putus sekolah, anak jalanan dan anak terlantar. Mereka akan ditampung, dididik dan dilatih hingga mampu berdiri sendiri menopang kehidupannya, tanpa mengeluarkan biaya," kata Daniel Dhakidae.
Bagi mereka sudah lulus dan menguasai keterampilan sesuai bidang yang diminatinya, maka mereka akan disalurkan bekerja di luar negeri dengan jejaring yang dibangun, misalnya di Timur Tengah, Malaysia, termasuk Amerika sendiri. Sejumlah duta besar sudah dikontak dan mendukung program ini. Namun, Jakarta IAEF bukanlah lembaga pengerah jasa tenaga kerja yang mendapatkan fee.
Azyumardi Azra mengatakan, yayasan pendidikan ini dibuat sebagai jembatan budaya kedua negara, Indonesia-Amerika. "Yayasan Pendidikan Indonesia Amerika ini lebih dari soal pendidikan, tapi juga pertukaran budaya, sehingga dengan ini mereka bisa mengetahui dan menghayati, dan saling menghargai kebudayaan masing-masing," katanya.
Karena itu, untuk mendukung ini, Aristides Katoppo berharap banyak pihak, apakah pribadi atau perusahaan yang peduli pendidikan anak-anak bangsa yang terlupakan ini, untuk membantu mewujudkan pembangunan gedung Learning Center, tempat mereka membekali diri dengan berbagai keterampilan untuk berkarya.
"Tanggal 11 Desember 2008, akan digelar malam dana bertajuk We are the Forgotten Children of Indonesia di Balai Sarbini. Diharapkan masyarakat mau menyumbang, bersimpati, dan memberikan solidaritas dan kebersamaan," ujarnya.
Henny Hughes menambahkan, gagasan ini berdasarkan investigasi dua tahun lalu. Untuk membawa anak-anak itu kembali belajar, motivasinya harus dari diri mereka sendiri. Keinginan belajar dari mereka itu harus kuat.
Membawa mereka kembali belajar bukanlah hal yang mudah, akan tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil karena pengaruh kehidupan liar di luar rumah telah merubah pola pikir mereka. "Untuk itu dibutuhkan metode khusus, praktis dengan bahasa yang sederhana dan berbagai variasi sistem penyampaian, misalnya melibatkan audio-visual agar lebih mudah dipahami, sehingga membuat belajar sebagai bagian dari aktivitas yang menyenangkan dan menjadi suatu kebutuhan," jelasnya.
Menurut Henny, pendidikan nonformal di Learning Center bisa menampung 400 anak. Walaupun yang menjadi target sementara adalah mereka yang putus sekolah dan yang memasuki usia dewasa atau 17 tahun ke atas, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu maka Learning Center juga akan dapat menampung berbagai tingkatan, termasuk anak-anak setingkat SD hingga universitas. Bahkan, akan menjangkau setiap warga yang ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya.
Learning Center yang didesain oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, untuk tahap awal selain memiliki fasilitas belajar-mengajar dan training juga memiliki sejumlah fasilitas olahraga. Bangunan tiga lantai seluas lebih kurang 2.000 meter persegi di atas tanah seluas 3.000 meter persegi itu, rencananya akan dilaksanakan pada awal tahun 2009 dan diharapkan akan dapat dioperasikan pada pertengahan tahun 2010.